JENEPONTO, KOMPAS — Hingga Kamis (24/1/2019), ratusan warga dari beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, masih mengungsi setelah banjir bandang menerjang pada Selasa (22/1). Sebagian desa kini porak poranda akibat terjangan banjir bandang. Banjir ini menewaskan 10 orang dan sekitar 100 warga lainnya masih dicari.
”Kami mendata ada 10 orang meninggal. Masih ada 100 warga yang dinyatakan hilang berdasarkan laporan keluarga. Mereka dinyatakan hilang karena belum diketahui keberadaannya atau belum melaporkan diri. Mungkin ada di pengungsian, tetapi sulit berkomunikasi atau bisa jadi ada penyebab lain. Kami masih berusaha mencari dan mendata,” kata Sekretaris Kabupaten Jeneponto Syafrudin Nurdin saat ditemui, Kamis.
Pantauan di sejumlah desa dan kecamatan di Jeneponto sepanjang Kamis menunjukkan, material berupa lumpur, pepohonan, bebatuan, dan runtuhan bangunan terlihat di sana-sini. Wajah sejumlah desa menjadi porak poranda dan dipenuhi material sisa banjir bandang.
Bangkai ternak dan barang-barang milik warga tergeletak di antara reruntuhan rumah. Kecamatan terparah yang terdampak bencana ini di antaranya adalah Binamu dan Turatea. Total ada delapan kecamatan yang terdampak di Jeneponto.
Kondisi ini membuat warga belum bisa kembali ke rumah. Sebagian bahkan tak lagi punya rumah karena hanyut atau tinggal reruntuhan. Warga masih bertahan di pengungsian di bukit-bukit sekitar desa. Sejak Kamis pagi, mereka mulai mendatangi desa dan mencari barang yang masih bisa diselamatkan. Mereka kemudian kembali ke pengungsian pada sore hari.
Zaenal Daeng Sewang (65), salah satu korban, kini tak lagi punya apa-apa. Rumahnya hancur dan puluhan ekor ayam miliknya mati.
”Saya menjual ayam kampung. Biasanya saya beli dari Takalar dan Gowa lalu jual ke beberapa rumah makan. Hari Senin, saya beli ayam di Takalar. Mestinya Rabu sudah saya antar ke rumah makan, tetapi banjir membuat semua ayam mati. Modal saya belum kembali dan saya tak punya modal lagi. Rumah saya juga habis,” katanya.
Banjir yang terjadi di Jeneponto disebabkan luapan Sungai Kelara. Sungai ini adalah anak Sungai Jeneberang dan menjadi daerah limpasan air dari Bendungan Bili-Bili saat pintu air dibuka, Selasa. Diduga luapan air berasal dari Bendungan Bili-Bili serta Karaloe.
Bupati Jeneponto Iksan Iskandar mengatakan, setidaknya dalam 20 tahun terakhir tak pernah terjadi banjir bandang di Jeneponto. Pemerintah dan warga bahkan tak pernah terpikir akan mengalami hal ini. Pada 1970-an pernah terjadi banjir, tetapi tak sampai 1 meter. Adapun banjir saat ini juga membawa lumpur dan ketinggiannya mencapai lebih dari 3 meter.
”Sebelum banjir bandang, cuaca memang buruk. Hujan deras turun selama beberapa hari. Dua hari sebelum bencana, saya sudah mengumpulkan pegawai dan membentuk tim serta mendirikan posko bencana. Namun, itu untuk antisipasi jika air naik. Ternyata yang terjadi banjir bandang. Bahkan, posko utama ikut rusak diterjang air,” tutur Iksan.
Saat ini, kata Iksan, pemerintah berupaya membantu warga memulihkan desa yang terdampak. Alat berat mulai dikerahkan untuk membersihkan material. Aparat gabungan TNI, polisi, SAR, pemadam kebakaran, dan dinas sosial dikerahkan ke desa-desa yang terdampak.
Pantauan menujukkan posko utama dipindahkan tak jauh dari Kantor Bupati, tempat bupati beserta staf senantiasa berjaga. Bantuan yang masuk ataupun akan didistribusikan juga dipusatkan di tempat ini. Dapur umum dan posko kesehatan juga dibuka untuk melayani masyarakat.