JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diharapkan dapat memperkuat ketahanan serta kemandirian energi nasional. Karena itu, ketentuan baru yang diatur dalam RUU Migas hendaknya dibuat sedemikian rupa agar bisa mendorong peningkatan produksi migas Tanah Air.
Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas membahas RUU Migas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/1/2019), mengingatkan, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya pembangunan yang strategis, tetapi akan habis karena tergolong energi tak terbarukan.
”Maka dari itu, tujuan RUU ini juga harus mampu memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional kita,” kata Presiden saat menyampaikan sambutan pengantar rapat terbatas. Selain Wakil Presiden Jusuf Kalla, rapat terbatas juga dihadiri sejumlah menteri, seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan.
Agar tujuan memperkuat ketahanan serta kemandirian energi nasional, kata Preseden, pasal-pasal yang diatur dalam regulasi baru harus bisa mendorong peningkatan produksi minyak dan gas bumi. Penting pula diatur pasal-pasal yang mendukung penguatan kapasitas nasional, penguatan industri dalam negeri, serta investasi sumber daya manusia di industri minyak dan gas bumi.
Tak hanya itu, Presiden juga menekankan agar UU Migas yang baru nantinya juga bisa menjadi payung hukum bagi reformasi tata kelola minyak dan gas bumi. Dengan adanya reformasi itu, diharapkan tata kelola migas bisa lebih efisien, lebih transparan, tidak berbelit-belit, sederhana, dan bisa berkelanjutan, serta memberikan nilai tambah.
Karena pentingnya regulasi baru untuk minyak dan gas bumi, Presiden mengingatkan jajarannya untuk berhati-hati dalam membahas draf RUU Migas yang diusulkan DPR. Kementerian terkait diminta mengkaji dengan cermat agar isi RUU itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
”RUU ini (Migas) adalah inisiatif DPR. Kita harus kaji dengan cermat, dengan hati-hati, agar RUU ini tidak bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Draf regulasi migas usulan DPR masih terus dibahas.
RUU Migas merupakan usul inisiatif DPR. Draf RUU tersebut mulai disusun Komisi VII DPR pada 2015. Namun, penyusunan draf RUU Migas baru rampung setelah tiga tahun pembahasan dan disahkan sebagai RUU usul inisiatif DPR pada rapat paripurna tanggal 3 Desember 2018. Draf dari RUU Migas diajukan kepada pemerintah sekitar awal Januari 2019.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi Dwi Soetjipto menambahkan, draf regulasi migas usulan DPR masih terus dibahas. Sampai saat ini, daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah juga belum selesai disusun.
Hal itu berarti masih butuh proses serta waktu yang relatif panjang untuk mengesahkan RUU Migas menjadi UU. Sebab, jika mengacu pada UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU inisiatif DPR baru bisa masuk pembahasan tingkat satu jika Presiden telah menerbitkan surat presiden berisi persetujuan pembahasan. Surat presiden juga berisi penunjukan kementerian yang akan mewakili pemerintah untuk membahas RUU bersama DPR dan diberikan dengan menyertakan DIM pemerintah.