Prodi Tenun Ikat Universitas Nusa Cendana Bakal Jadi Rumah Bagi Wastra Nusantara
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Program Studi Tenun Ikat di Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya akan sekadar mempelajari motif tenun ikat setempat. Keberadaannya akan menjadi rumah kreatif untuk semua tenun ikat nusantara guna mendongkrak pemasaran demi kesejahteraan para perajinnya.
“Tanpa melepaskan nilai budayanya, salah satu fokus kami adalah memadupadankan motif dan warna tenun ikat nusantara agar semakin disukai konsumen,” kata Dekan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Hery Leo Sianturi di Kupang, Kamis (24/1/2019).
Program Studi Tenun Ikat di Undana baru dibuka tahun ajaran 2018/2019. Saat ini, mahasiswanya berjumlah 26 orang. Mereka berasal dari 22 kabupaten/kota di NTT. Jumlahnya berpotensi meningkat. Beberapa daerah berencana mengirim calon mahasiswa lainnya atas biaya pemerintah daerah setempat.
NTT sendiri setidaknya memiliki sekitar 300 motif tenun yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Motif-motif ini terinspirasi dari sumber daya alam yang ada di masing-masing daerah.
Contohnya, motif komodo untuk tenun ikat khas Manggarai dan buaya untuk daratan Timor. Ada juga rusa, pohon kenari, dan ayam untuk Pulau Alor serta kuda dari Pulau Sumba. Beberapa motif khas NTT sudah mendapatkan hak kekayaan intelektual (HKI) tetapi sebagian besar belum mendapatkannya. Keberadaan prodi itu diharapkan membuka peluang perajin mendapatkan HKI.
Hari mengatakan, di awal pembelajaran, mahasiswa akan fokus belajar tentang tenun ikat khas NTT. Baru setelahnya, materi akan diperluas dengan studi tenun ikat dari seluruh Indonesia.
"Tentu butuh kejelian dan kemampuan khusus agar dihasilkan karya yang indah, menarik dan mampu mendongkrak nilai jual pasar," kata dia.
Hari mengatakan, mahasiswa akan menempuh materi teori di kampus. Namun, untuk praktek, pihaknya bakal bekerjasama dengan enam pusat kerajinan tenun ikat di Kota Kupang. Pengelola pusat kerajinan tenun ikat itu akan membimbing dan menjelaskan filosofi motif-motif yang ada.
“Mahasiswa harus paham asal usul motif hingga sejarah kelahirannya. Pengetahuan itu bakal menjadi salah satu kunci memikat konsumen dalam dan luar negeri," kata Hari.
Perajin tenun ikat dari Kabupaten Alor, Syariat Libana, berharap prodi anyar itu semakin mampu mempromosikan karya anak bangsa. Alasannya, sejumlah tantangan ada di depan mata. Beberapa hal yang utama seperti menjamin peluang pasar dan menepis anggapan harga tenun ikat yang terlalu mahal.
Libana mengatakan, solusi pasar sangat dibutuhkan. Ia mengatakan, tingginya produksi tenun ikat belum mendapat pintu pasar yang ideal. Ia memperkirakan ada jutaan tenun ikat yang dihasilkan perajin setiap tahun. Namun, belum semuanya dapat dijual dengan mudah.
Saling berkaitan, anggapan harga tenun ikat terlalu mahal, ikut memengaruhi pasar. Dia mengatakan, sehelai tenun ikat berukuran 40 sentimeter-100 sentimeter dan panjang 1 meter-2 meter, dijual antara Rp 250.000 - Rp 10 juta. Namun, semuanya terasa sepadan bila konsumen tahu waktu pembuatan yang memakan waktu lama dan kualitas benang hasil pintalan tangan .
“Dengan menggunakan benang pintalan tangan, tenun yang dihasilkan bakal lebih tebal. Secara adat, hal itu jauh lebih bernilai ketimbang tenun tipis buatan pabrik. Kami berharap, hal seperti itu dapat tersampaikan sehingga tidak justru mengurungkan niat konsumen membeli tenun ikat,”kata Libana.