JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi mempertimbangkan untuk melaporkan kepada publik melalui media massa para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak melaporkan harta kekayaannya. Sanksi sosial ini direncanakan untuk mendorong lebih banyak anggota badan legislatif melaporkan harta kekayaannya.
Pada periode 2017-2018, tingkat kepatuhan anggota DPR untuk menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) hanya 21,42 persen, yaitu dari 537 anggota wajib lapor, hanya 115 yang melapor. Persentase itu turun drastis dari periode 2016-2017 yang mencapai 96,36 persen.
Berdasarkan data KPK, Rabu (23/1/2019), tingkat kepatuhan anggota DPR untuk melaporkan LHKPN pada periode 2017-2018 ini jauh di bawah tingkat kepatuhan di lembaga eksekutif yang mencapai 66,31 persen serta BUMN/BUMD yang mencapai 85,01 persen.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menuturkan, anggota DPR ataupun DPRD yang tidak melaporkan harta kekayaannya punya kecenderungan melakukan korupsi. ”Kita bisa menganggap mereka punya kecederungan untuk korupsi. Mengapa? Kan, cuma melaporkan harta kekayaan. Apalagi itu diwajibkan oleh undang-undang. Kenapa dia tidak melakukan,” kata Laode di Padang, Sumatera Barat.
Terkait hal itu, kata Laode, KPK berencana mengumumkan nama anggota DPR yang tidak menyerahkan LHKPN berikut partai politik dan alamat anggota DPR itu. ”Selain di koran, kami juga akan membuat daftarnya di laman KPK. Tujuannya agar masyarakat tahu, apalagi sekarang sedang masa kampanye,” ujarnya.
Sanksi
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menilai kepatuhan untuk menyerahkan LHKPN bisa menjadi salah satu ukuran keseriusan partai politik untuk melakukan pembenahan sistem internal.
Keberadaan sanksi administratif, lanjut Pahala, menjadi salah satu sebab relatif tingginya kepatuhan kalangan eksekutif dan juga BUMN/BUMD untuk menyerahkan LHKPN. Sanksi administratif itu antara lain tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan aturan di internal lembaga masing-masing. Kementerian ESDM, misalnya, membuat aturan para pejabat dan pegawai yang tidak menyerahkan LHKPN akan kesulitan mengakses sistem kepegawaian sehingga berdampak pada tunjangan tiap bulan. ”Di instansi lain, promosi bahkan bisa batal kalau belum lapor,” ucapnya.
Secara terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan, ketiadaan sanksi membuat tidak semua anggota DPR setiap tahun disiplin memperbarui laporan harta kekayaannya. Ke depan, perlu ada terobosan yang dilakukan KPK untuk mendorong para politisi melaporkan LHKPN.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengumumkan kepada publik nama para anggota DPR yang melaporkan ataupun yang tidak melaporkan LHKPN. Menurut Lucius, secara prinsip, tidak ada regulasi yang dilanggar jika KPK melakukan hal itu. Ini karena data LHKPN memang dapat diakses dan diunggah publik secara luas lewat situs resmi KPK.
Namun, untuk jangka panjang, kata Lucius, perlu ada pembenahan regulasi yang membuat adanya sanksi terhadap penyelenggara negara yang abai melaporkan harta kekayaannya. Anggota DPR seharusnya menyadari posisinya sebagai penyelenggara negara serta etika transparansi dan akuntabilitas yang harus ia penuhi.
”Sebenarnya sangat disayangkan jika politisi harus dipaksa untuk patuh dengan sanksi. Ini seharusnya sudah jadi kesadaran etika berpolitik,” ujarnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, selama ini memang tidak ada sanksi bagi anggota DPR yang tidak patuh melaporkan LHKPN. Maka, kepatuhan melapor kembali ke kesadaran setiap anggota. Menurut Bambang, dalam rangka mendorong tingkat kepatuhan lebih tinggi, pimpinan DPR telah mengimbau pimpinan fraksi untuk mengingatkan anggotanya melaporkan LHKPN.
DPR juga membuka konter pelaporan LHKPN di Kompleks Parlemen, Senayan, untuk memudahkan anggota dan stafnya memperbarui LHKPN secara periodik.