Perusahaan BUMN di Indonesia menjalankan dua peranan penting, yaitu sebagai korporasi modern yang dituntut meraih profit dan sebagai agen pembangunan yang memiliki kewajiban menjalankan pelayanan publik.
Sebagai agen pembangunan, BUMN sering mendapat tugas dari pemerintah untuk melaksanakan program pelayanan publik yang sulit atau tidak mungkin dilakukan perusahaan swasta. Contohnya, PT Hutama Karya (Persero) yang ditugaskan menyelenggarakan program pembangunan jalan tol di Sumatera atau PT Pertamina (Persero) yang mendapat penugasan program bahan bakar minyak (BBM) satu harga, terutama di Papua.
Sebagai korporasi modern, perusahaan BUMN dituntut meraih keuntungan dan kompetitif dalam berbisnis. Lalu, bagaimana melakukan ekspansi bisnis untuk meningkatkan profit dan skala usaha di tengah keterbatasan modal?
Di sinilah, sebagai korporasi, perusahaan BUMN perlu mencari pembiayaan. Modelnya, melalui pembiayaan dari perbankan atau dengan cara menerbitkan obligasi. Pembiayaan atau utang berbunga untuk tujuan produktif memang diperlukan.
Mungkin sangat sedikit korporasi modern yang mampu mengembangkan bisnis atau melakukan aksi korporasi untuk tujuan produktif tanpa pembiayaan atau utang. Persoalannya, apakah pembiayaan tersebut dipertimbangkan secara matang sehingga tidak mengganggu arus kas perusahaan atau terancam gagal bayar.
Dilihat dari sisi aset dan ekuitas BUMN, nilai aset dan ekuitas BUMN cukup besar. Sebagai gambaran, aset perusahaan-perusahaan BUMN pada 2017 mencapai Rp 7.210 triliun dengan ekuitas Rp 2.387 triliun. Perusahaan BUMN tidak hanya memberikan kontribusi pajak Rp 211 triliun pada 2017, tetapi juga dividen Rp 43 triliun.
Dengan aset yang bertambah dan ekspansi bisnis yang semakin besar, pembiayaan bisa bertambah atau membesar.
Ada pihak yang menyebutkan utang BUMN mencapai Rp 5.000 triliun. Namun, utang sebesar itu bukan utang berbunga atau pembiayaan. Dari jumlah itu, sebagian di antaranya merupakan ”kewajiban” perusahaan BUMN, terutama BUMN sektor keuangan, berupa dana pihak ketiga (DPK) atau premi asuransi, yang dalam akutansi diklasifikasikan sebagai kewajiban.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro pernah menjelaskan, BUMN yang memiliki utang berbunga memiliki kemampuan membayar. Hal itu terlihat dari indikator rasio utang terhadap ekuitas (DER). Misalnya, pada 2017 DER BUMN sektor transportasi 1,59; sektor properti dan konstruksi 2,99; sektor energi 0,71; dan sektor telekomunikasi 0,77.
Sampai triwulan III-2018, nilai liabilitas BUMN mencapai Rp 5.271 triliun, yang terdiri dari BUMN sektor keuangan Rp 3.311 triliun dan non-keuangan Rp 1.960 triliun. Liabilitas sektor keuangan yang sebesar Rp 3.311 triliun antara lain terdiri dari DPK yang sebesar Rp 2.448 triliun atau 74 persen dan cadangan dana premi, termasuk akumulasi iuran pensiun Rp 355 triliun.
Dari 10 BUMN yang memiliki utang berbunga terbesar, nilai utang pada triwulan III-2018 sekitar Rp 1.731 triliun. Dengan utang yang terukur dan diambil dengan sikap kehati-hatian, diharapkan perusahaan BUMN semakin dinamis dan fleksibel dalam menjalankan aksi korporasi untuk memperbesar skala bisnis.
Selain itu, bisa memperoleh profit dan berkontribusi lebih besar bagi negara, masyarakat, dan perekonomian nasional. (Ferry Santoso)