Akses ke Gowa Mulai Dibuka
GOWA, KOMPAS Akses menuju lokasi longsor di wilayah pedalaman Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, khususnya di sepanjang Jalan Poros Bungaya, mulai dibuka. Salah satu jembatan penghubung yang putus, Jembatan Lemoa, disambung menggunakan jembatan bailey. Material longsor penutup jalan dibersihkan.
Hingga Kamis (24/1/2019) petang, sejumlah tentara masih memasang rangka jembatan bailey. Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin Mayor Jenderal Surawahadi menjamin, Jumat pagi ini, jembatan siap digunakan.
Setelah jembatan tersambung, tahap berikutnya membersihkan material longsor. ”Ini tentunya perlu alat-alat berat,” kata Surawahadi.
Sepanjang Jalan Poros Bungaya dari Jembatan Lemoa hingga Dusun Pattiro, Desa Pattallikang, Kecamatan Manuju, misalnya, terdapat tiga titik longsoran material yang belum bisa disingkirkan. Material longsoran lumpur, batu, dan potongan kayu itu rata-rata setebal 6 meter dan sepanjang 50 meter.
Akses menuju lokasi bencana sejauh ini baru sampai di Pattiro, sekitar 50 kilometer dari Makassar, ibu kota Sulsel, atau 6 kilometer dari Jembatan Lemoa.
Wakil Bupati Gowa Abdul Rauf Malaganni menambahkan, setelah Pattiro, ada 13 titik di mana longsor menutup jalan dan jalan ambles. Titik-titik itu termasuk dalam wilayah Kecamatan Bungaya.
Warga hilang
Hingga Kamis petang, korban yang ditemukan meninggal pada bencana longsor di Pattiro tercatat delapan orang. Sesuai data pemerintah desa setempat, warga Pattiro yang tertimbun longsor 23 orang.
Di seluruh Sulsel, hingga Kamis pukul 18.00 Wita, total korban jiwa akibat banjir, longsor, dan angin kencang di 13 kabupaten/kota sebanyak 57 orang. Total 5.825 jiwa terdampak bencana dan 3.430 jiwa mengungsi.
Salah satu wilayah terdampak parah banjir adalah Kabupaten Jeneponto. Hingga Kamis, ratusan warga dari beberapa desa dan kecamatan mengungsi. Sejumlah desa porak poranda. Banjir menewaskan 10 orang dan sekitar 100 orang masih dicari.
”Mereka dinyatakan hilang karena belum diketahui keberadaannya atau belum melapor. Mungkin di pengungsian, tetapi sulit berkomunikasi atau bisa jadi ada sebab lain,” ujar Sekretaris Kabupaten Jeneponto Syafrudin Nurdin.
Kemarin, material lumpur, pepohonan tumbang, bebatuan, dan runtuhan bangunan terserak di sejumlah desa dan kecamatan. Wajah sejumlah desa porak poranda. Bangkai ternak dan barang milik warga terlihat di antara reruntuhan rumah.
Banyak warga belum bisa pulang. Sebagian rumahnya hanyut atau bahkan hanya tinggal reruntuhan. Warga bertahan di pengungsian. Sejak Kamis pagi, mereka mendatangi desa dan mencari barang tersisa, kemudian kembali ke pengungsian pada sore hari.
Salah seorang korban adalah Zaenal Daeng Sewang (65). Rumahnya hancur dan puluhan ayamnya mati. ”Saya menjual ayam kampung. Hari Senin, saya beli ayam di Takalar. Mestinya Rabu saya antar ke rumah makan, tetapi banjir membuat semua ayam mati,” katanya.
Banjir di Jeneponto terjadi akibat luapan Sungai Kelara, yang tak lain anak Sungai Jeneberang, yang menjadi area limpasan air Bendungan Bili-Bili saat pintu air dibuka, Selasa. Diduga luapan air berasal dari Bendungan Bili-Bili serta Karaloe.
Bupati Jeneponto Iksan Iskandar menyatakan, setidaknya 20 tahun terakhir Jeneponto tak pernah kebanjiran.
”Sebelum banjir bandang, hujan deras turun beberapa hari. Dua hari sebelum bencana, saya kumpulkan pegawai dan membentuk tim serta mendirikan posko bencana untuk antisipasi jika air naik. Ternyata yang terjadi banjir bandang. Bahkan, posko utama ikut rusak diterjang banjir,” tuturnya.
Saat ini, pemerintah berupaya memulihkan desa terdampak. Alat berat dikerahkan untuk membersihkan material. Aparat gabungan TNI, Polri, SAR, pemadam kebakaran, dan dinas sosial dikerahkan.
Alih fungsi lahan
Banjir besar di sejumlah daerah di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Jeneponto sejak lima tahun lalu telah diprediksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Kepala Puslitbang Kebencanaan Unhas Adi Maulana menyebutkan, penyebab utama banjir adalah alih fungsi daerah resapan air menjadi wilayah permukiman ataupun ladang tanaman perkebunan.
Daya serap tanah pun terganggu. Alih fungsi resapan air juga terjadi di hulu Sungai Jeneberang di kaki Gunung Bawakaraeng, Gowa.
Di Sulsel, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo meminta pemerintah daerah tegas membuat regulasi menjaga daerah resapan. ”Pemerintah daerah ujung tombak perbaikan daerah-daerah konservasi.
Ada dua fokus, yakni regulasi yang ketat dan jangan lupa sosialisasi agar warga turut menjaga lingkungan,” katanya. Kerusakan lingkungan tak lepas dari soal pengawasan dan perilaku warga. (FRN/DIM/REN/HRS/EGI/INA/LAS)