JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang punya aset atau kekayaan besar, saat ini kembali maju di Pemilihan Legislatif 2019. Di tengah kondisi politik berbiaya tinggi, kemampuan finansial para petahana ini menjadi salah satu faktor pertimbangan partai politik saat menyeleksi calon anggota legislatif.
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara periode 2017-2018 yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, dari sepuluh anggoat DPR saat ini dengan aset atau kekayaan terbesar, delapan di antaranya kembali maju sebagai calon anggota DPR RI di Pemilu 17 April 2019.
Delapan orang itu adalah Andi Achmad Dara (Golkar), Charles Honoris (PDI-P), Bambang Soesatyo (Golkar), Markus Melchias Mekeng (Golkar), Tutik Kusuma Wardhani (Demokrat), Mohammad Suryo Alam (Golkar), Rudianto Tjen (PDI-P), dan Daniel Johan (PKB).
Dua orang lainnya, Aryo Djojohadikusumo (Gerindra) dan Fadel Muhammad. Aryo tak lagi maju sebagai caleg, sedangkan Fadel Muhammad memilih maju menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Dari delapan anggota DPR dengan aset terbesar yang maju kembali sebagai calon anggota DPR RI itu, enam di antaranya mendapat mendapat nomor urut satu dari partainya. Dua orang lainnya, yaitu Charles Honoris dan Tutik Kusuma Wardhani mendapat nomor urut dua.
Caleg dengan nomor urut satu (kecil) lebih berpotensi dipilih.
Meski Pemilu 2019 memakai sistem proporsional terbuka di mana pemenang ditentukan oleh perolehan suara terbanyak, caleg dengan nomor urut satu (kecil) lebih berpotensi dipilih.
Nomor urut
Wakil Ketua Tim Seleksi Caleg Partai Golkar Ibnu Munzir mengatakan, hampir semua caleg petahana dari Golkar diberi nomor urut satu. Mereka sengaja diberi prioritas karena diasumsikan dapat mempertahankan perolehan kursi Golkar di DPR. “Kami memang meminta anggota petahana kami untuk kembali maju,” kata Ibnu, yang juga koordinator bidang kepartaian di Partai Golkar.
Anggota Tim Seleksi Caleg Partai Golkar Hajriyanto Thohari menambahkan, di tengah sistem pemilu yang berbiaya tinggi, tidak dipungkiri, faktor logistik caleg petahana mau tidak mau ikut menjadi pertimbangan partai saat memberikan posisi nomor urut satu ke caleg.
“Golkar menyadari, pemilu di Indonesia pasca reformasi adalah pemilu dengan biaya tinggi. Implikasinya, hanya mereka yang berkemampuan logistik tinggi yang berani maju menjadi caleg,” katanya.
Hajriyanto menyadari, mendahulukan petahana yang berkemampuan logistik tinggi di sisi lain berarti mengorbankan prinsip kaderisasi dan regenerasi partai. Untuk mengimbangi itu, Golkar tetap memberi kesempatan pada caleg non-petahana yang rata-rata anak muda untuk maju di pileg. Namun, mereka tidak mendapat nomor urut atas.
“Partai mana yang ingin suaranya turun? Semua partai tentu ingin suaranya meningkat atau setidaknya bertahan,” tutur Hajriyanto.
Faktor logistik dan kemampuan finansial anggota memang salah satu faktor yang dipertimbangkan partai saat memberi nomor urut
Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira mengatakan, faktor logistik dan kemampuan finansial anggota memang salah satu faktor yang dipertimbangkan partai saat memberi nomor urut. Namun, itu bukan faktor utama, karena ada pertimbangan lain berupa pengalaman, jaringan, serta aktif tidaknya yang bersangkutan di partai dan DPR.
Ia mencontohkan, Rudianto Tjen. Selain kaya, Rudianto sudah tiga periode menjabat di DPR. Ia juga aktif di partai dan kini menjabat sebagai wakil bendahara umum partai. “Jadi, (kemampuan finansial) bukan pertimbangan utamanya, karena dia memang politisi PDI-P yang sudah sangat berpengalaman,” ujarnya.
Logistik menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan di tengah pemilu berbiaya tinggi.
Kendati demikian, Andreas mengakui, logistik menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan di tengah pemilu berbiaya tinggi. Caleg setidaknya harus memiliki Rp 1 miliar untuk modal awal maju di pemilu. Itu pun, menurut Andreas, masih tergolong kecil. Apalagi saat ini masa kampanye pileg lebih panjang dari pemilu-pemilu sebelumnya.
“Pengalaman di daerah, banyak caleg yang mulai sesak napas di tengah jalan karena kesulitan biaya. Jika kita tidak perhitungkan aspek logistik, caleg bisa-bisa hanya diam saja atau tidak banyak bergerak merangkul konstituen lebih luas untuk berkampanye,” tutur Andreas.
Meski Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka di mana pemenang ditentukan oleh perolehan suara terbanyak, tetapi nomor urut satu umumnya dianggap hal penting. Ini karena secara psikologis, pemilih masih menganggap caleg dengan nomor urut teratas lebih kompeten.
Regenerasi
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, selain masalah politik berbiaya tinggi, ada persoalan lain yang menyebabkan proses regenerasi dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan.
Sistem rekrutmen caleg, ujarnya, tidak dibangun secara demokratis, sehingga mekanisme kaderisasi tidak maksimal. “Akibatnya, partai masih terus mengandalkan orang-orang lama dengan dua kualifikasi utama, yaitu bisa mengerek suara (vote-getter) dan punya modal finansial kuat untuk membiayai kontestasi,” ucap Fadli.
Perlu ada upaya untuk mendorong proses di internal partai menjadi lebih demokratis.
Guna mengatasi hal ini, Fadli mengatakan, perlu ada upaya untuk mendorong proses di internal partai menjadi lebih demokratis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong partai menyelenggarakan pemilu internal untuk menentukan caleg yang akan diajukan dalam pemilu, berikut nomor urut yang didapat tiap caleg.
Dengan cara seperti itu, menurut Fadli, proses rekrutmen dan seleksi caleg berlangsung lebih demokratis dan transparan, tanpa mengabaikan proses regenerasi. Pemilu internal juga memungkinkan adanya proses uji publik untuk mendapatkan kandidat caleg yang benar-benar dinilai kompeten oleh masyarakat.