Bekasi Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Demam Berdarah
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Warga Bekasi diklaim masih aman dari serangan demam berdarah dengue. Meski demikian, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan di wilayah permukiman padat dan rawan banjir.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bekasi Dezi Syukrawati mengatakan, sepanjang Januari 2019, sejumlah warga Kota Bekasi terserang demam berdarah dengue (DBD). Namun, jumlahnya belum diketahui karena rekapitulasi dari 42 rumah sakit yang ada di sana belum tuntas. Petugas terkendala banyaknya pasien yang tidak berdomisili di Kota Bekasi.
“Meskipun demikian, di Kota Bekasi relatif masih aman, belum ada kejadian luar biasa (KLB),” kata Dezi Jumat (25/1/2019). Pernyataan KLB dikeluarkan saat jumlah kasus DBD periode Januari 2019 lebih dari 100 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun pada Januari 2018, terdapat 49 kasus DBD.
Dezi menambahkan, sepanjang 2018, terjadi 626 kasus DBD. Ada tiga wilayah paling rawan, yaitu Bekasi Utara (129), Bekasi Barat (107), dan Bekasi Timur (69).
Ketiga wilayah tersebut merupakan daerah permukiman berpenduduk padat dan rawan banjir. Oleh karena itu, kewaspadaan pun perlu ditingkatkan.
Fitriana, juru pemantau jentik dari RW 01, Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, mengatakan, wilayah tempat tinggalnya memang rawan banjir. Terutama pada wilayah RT 01 dan RT 06. Dua wilayah itu tidak pernah absen dari banjir saat hujan deras turun.
“Makanya, jentik nyamuk yang paling banyak ditemukan adalah di got,” kata Fitriana. Jentik yang ada di dalam rumah warga relatif lebih sedikit, karena sebagian besar warga menggunakan ember kecil di toiletnya. Sehingga, pengurasan lebih sering dilakukan.
“Sampai saat ini belum ada warga RW 01 yang terserang DBD,” ujar Fitriana.
Pencegahan
Dezi mengatakan, serangan DBD terkendali karena pencegahan dilakukan sejak jauh-jauh hari. Kota Bekasi berpengalaman mendapatkan serangan dahsyat pada 2016. Saat itu, jumlah DBD mencapai 3.813 kasus naik pesat dari 2015 yang jumlahnya 987 kasus. “Pada 2016 itu musim banjir dan pencegahan kami kurang optimal,” kata dia.
Sejak saat itu, berbagai pembenahan dilakukan mulai dari merumuskan regulasi hingga memberdayakan masyarakat. Pada 2017, terbit Instruksi Wali Kota Nomor 440/289/Dinkes Tahun 2017 agar setiap warga melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) setiap pekan. Oleh karena itu, PSN menjadi basis pencegahan. Hingga saat ini, ada sekitar 1.500 kader PSN yang tersebar di seluruh kota.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga menyebarluaskan sejumlah pengetahuan pemberantasan nyamuk. Di antaranya penanaman tumbuhan aromaterapi dan menjadi objek penelitian universitas mengenai penggunaan lilin aromaterapi untuk membunuh nyamuk.
“Kami juga memulai gerakan seribu ovitrap di Kecamatan Bekasi Barat,” kata Dezi. Ovitrap merupakan alat sederhana dari botol bekas untuk mengghambat pertumbuhan jentik.
Dengan PSN dan berbagai cara tersebut, kata Dezi, warga juga diimbau untuk menjadikan fogging sebagai pilihan terakhir. Penyemprotan nyamuk itu dinilai tidak efektif karena hanya membunuh nyamuk dewasa, tetapi tidak membunuh jentik.
Hasilnya, pada akhir 2017 serangan DBD menurun drastis menjadi 699 kasus. Kemudian kembali turun pada akhir 2018 sebanyak 626 kasus.
Hal serupa dilakukan di Kabupaten Bekasi. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Irfan Maulana mengatakan, jumlah kasus DBD pada dua tahun terakhir terus menurun. Pada 2017, ada 334 kasus, sedangkan pada 2018 menurun menjadi 248 kasus.
“Selama Januari 2019, belum ada kasus DBD di Kabupaten Bekasi,” kata Irfan. Sebelumnya di Kecamatan Setu, terdapat beberapa laporan mengenai DBD. Namun, ketika diperiksa di laboratorium, ternyata warga menderita demam tifoid.
Irfan mengatakan, telah menggerakkan PSN sejak tiga bulan lalu. Sejak saat itu, pemantauan jentik tidak hanya dilakukan oleh petugas, tetapi juga oleh setiap warga. “Kami mengistilahkannya satu rumah satu relawan pemantau jentik atau remantik,” kata dia.