Bisa Topang Defisit, Semua Ekspor Jasa Diharapkan Dapat PPN 0 Persen
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelambatan ekonomi global diperkirakan bakal ikut memengaruhi pertumbuhan ekspor jasa Indonesia yang melambat antara 5,5 hingga 6,0 persen tahun 2019. Untuk menahan laju pelambatan tersebut, pembenahan di dalam negeri bisa dilakukan, antara lain dengan kebijakan pajak nol persen bagi ekspor sektor jasa.
Insentif pajak untuk ekspor jasa dinilai dapat membuat sektor ini semakin berkembang dan bisa menopang defisit transaksi berjalan. “Meski pertumbuhannya melambat, namun sektor jasa sangat berpotensi dikembangkan guna menopang transaksi berjalan kita. Sebab, kalau berbicara mengenai ekspor barang maka kita harus berbicara industri, fasilitas, dan keperluan lainnya. Hal ini tentu membutuhkan waktu untuk memperkuat industri sampai bisa mengekspor,” kata analis kebijakan dari Indonesia Services Dialogue (ISD) Council, Muhammad Syarif Hidayatullah, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Berbeda dengan sektor jasa, Syarif menyampaikan, ketika pemerintah benar-benar memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN hingga nol persen untuk ekspor jasa, kebijakan ini tentu akan mengembangkan ekspor jasa dengan cepat. “Ini bisa menjadi sumber pertumbuhan baru dibandingkan hanya berfokus pada ekspor barang,” ujarnya.
Meski pertumbuhannya melambat, namun sektor jasa sangat berpotensi dikembangkan guna menopang transaksi berjalan kita
Berdasarkan data Bank Dunia, sektor jasa pada 2017 berkontribusi sebesar 43,6 persen dari total Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi sektor jasa merupakan yang terbesar dibandingkan sektor manufaktur (21 persen) dan agrikultur (13 persen).
Menurut Syarif, kebijakan yang akan mempengaruhi ekspor jasa tahun 2019 adalah kebijakan terkait PPN ekspor jasa. “Penerapan kebijakan ini akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia, tidak hanya dapat mendorong ekspor jasa, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing tenaga kerja di Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, dan meningkatkan produktivitas ekonomi yang pada akhirnya akan berperan meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang,” tambahnya.
Syarif mencontohkan, saat ini perusahaan-perusahaan industri besar yang memiliki kantor cabang di Vietnam, Filipina, dan Indonesia juga melakukan ekspor jasa di internal perusahaan. “Dalam transaksinya, misal, perusahaan x di industri x melakukan pembukuan di Vietnam. Maka sebenarnya, Vietnam sedang melakukan ekspor jasa dengan mengirimkan tenaga ahlinya ke Indonesia maupun Filipina,” paparnya.
Inilah yang seringkali masih luput oleh perhatian pemerintah, bahwa antarkantor cabang dari suatu perusahaan multinasional melakukan transaksi ekspor jasa. Syarif mengatakan, para perusahaan multinasional tersebut belum melirik ke Indonesia, salah satunya disebabkan oleh hambatan PPN tersebut.
Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil mengatakan, sementara ini PPN jasa sebesar 0 persen baru berlaku untuk sektor jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan, serta jasa konstruksi (Kompas, 27/10/2018) . Nantinya, PPN jasa 0 persen akan berlaku untuk semua sektor jasa ekspor. Sektor jasa dalam negeri tetap dikenai PPN 10 persen.
”Dalam peraturan sekarang dibatasi hanya tiga jenis jasa yang mendapat PPN 0 persen. Nah, itu mau dibuka. Artinya, semua jasa kalau diekspor, PPN 0 persen. Rencana penghapusan PPN ekspor jasa masih tahap konsolidasi dengan dunia usaha,” kata Suahasil.
Sertifikasi
Selain dari penghapusan PPN untuk ekspor sektor jasa, Syarif menyampaikan, pemerintah juga perlu terus mendorong kualitas sumber daya manusia. Namun, untuk saat ini, yang tak kalah penting adalah soal sertifikasi.
“Sumber daya manusia kita saat ini sudah cukup berkualitas, terlihat dari banyakanya lulusan sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan hingga ke tingkat strata satu sampai tiga. Namun, tidak semua lini jasa sudah tersertifikasi,” ujar Syarif.
Sebelumnya, dalam diskusi “Potensi Sektor Jasa, Defisit Neraca Berjalan, dan Masa Depan” pada 16 Januari 2019, Direktur Eksekutif ISD Council Devi Ariyani juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, kapasitas sumber daya manusia yang masih belum tersertifikasi dan memenuhi kualitas internasional menjadi hambatan dari ekspor jasa.
“Khususnya untuk insinyur, perlu skema kebijakan pemerintah yang mendorong masuknya insinyur ke dalam industri dan sertifikasi untuk beberapa profesi jasa, termasuk insinyur yang masih kekurangan dari sisi suplai,” ujar Devi. (SHARON PATRICIA)