JAKARTA, KOMPAS — Perang dagang Amerika Serikat dan China membuka peluang bagi Indonesia untuk membidik potensi relokasi industri di China yang selama ini menyasar pasar AS. Namun, kondisi di Indonesia mestinya menarik bagi investor.
”Diperlukan juga kepastian regulasi dan jaminan daya saing untuk menggarap pasar ketika mereka memutuskan berinvestasi di Indonesia,” kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo, di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Terkait potensi relokasi, Maxensius mengatakan, ada kemungkinan China menggunakan peran negara ketiga untuk menggarap perdagangan ke AS. Namun, negara-negara lain juga menawarkan kemudahan investasi yang atraktif untuk menarik investor.
Kepastian regulasi, kata Maxensius, penting bagi calon investor. Sebab, penanaman modal merupakan kegiatan jangka panjang. Aspek lain, seperti logistik, juga dipertimbangkan karena turut mendukung daya saing produk yang dihasilkan industri.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China termasuk dalam lima besar negara asal penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Pada Januari-September 2018, realisasi investasi China di Indonesia sebesar 1,8 miliar dollar AS. Adapun pada triwulan III-2018 sebesar 500 juta dollar AS.
Sementara Kementerian Perindustrian menyebutkan, sejumlah perusahaan manufaktur China ingin memindahkan basis produksi ke Indonesia. Alasannya, menghindari tarif bea masuk yang tinggi ke AS.
”Beberapa industri tekstil dan alas kaki global sedang mempertimbangkan untuk memindahkan pabrik dari China ke Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto melalui siaran pers di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
Menurut Kementerian Perindustrian, investor China akan berinvestasi Rp 10 triliun di sektor tekstil pada 2019. Investasi itu mengarah ada pengembangan sektor menengah, yakni pemintalan, penenunan, pencelupan, dan pencetakan.
Berdasarkan analisis Kemenperin, perang dagang AS-China telah memacu kapasitas produksi pelaku industri Indonesia dalam mengisi pasar ekspor ke AS dan China.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor nonmigas RI ke China pada Januari-Desember 2018 sebesar 24,392 miliar dollar AS. Nilai itu setara 15 persen dari total ekspor nonmigas RI yang mencapai 162,654 miliar dollar AS. Adapun ekspor nonmigas RI ke AS pada 2018 sebesar 17,672 miliar dollar AS atau 10,87 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia.
Ditingkatkan
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mendorong peningkatan sektor produksi. Dengan produksi yang meningkat, lapangan kerja yang tercipta juga lebih luas.
Hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi sehingga konsumsi masyarakat meningkat. Peningkatan sektor produksi bisa dilakukan di berbagai sektor, antara lain perkebunan, pertanian, perikanan, dan industri manufaktur.
Hariyadi mencontohkan peningkatan kinerja di perkebunan jagung. Jagung akan diserap industri pengguna sehingga memberi nilai tambah bagi pelaku industri ataupun pelaku usaha peternakan.
Ia menambahkan, peningkatan produksi industri yang memberi nilai tambah dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Mengutip data BPS, ada 131,01 juta angkatan kerja di Indonesia per Agustus 2018. Dari jumlah itu, 124,01 juta orang bekerja, sedangkan 7 juta orang menganggur.
Adapun Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menuturkan, penciptaan lapangan kerja akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Industri bernilai tambah mesti ditumbuhkan agar penciptaan lapangan kerja lebih optimal. Yang tak kalah penting adalah mengembangkan pusat-pusat ekonomi baru.
Langkah-langkah ini dapat menumbuhkan kemandirian ekonomi karena bersifat lebih mendasar untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Pengembangan pusat ekonomi baru juga dapat dilakukan di tingkat desa, misalnya berupa desa wisata, dengan memanfaatkan dana desa.