Jerat Obesitas pada Anak
Anak Indonesia tak hanya menanggung beban akibat gizi kurang, namun juga pola makan tidak seimbang yang memicu obesitas. Saat bersamaan, pemahaman parapihak tentang gizi yang baik tak kunjung membaik.
Fabian (11) berlarian kesana kemari mengejar bola di halaman sekolahnya, SD Negeri Cipulir 07, Jakarta Selatan. Dibanding kawannya, badannya jelas terlihat lebih besar dengan pipi tembem dengan leher yang nyaris tak terlihat.
Meski demikian, anak laki-laki dengan berat 60 kilogram dan tinggi 147 sentimeter itu tetap gesit mengejar bola. "Aku suka ngemil. Sekali makan, bisa makan kentang goreng, terus minum susu dan sosis. Ngemil-nya kacang," kata Fabian, Rabu (23/1/2019).
Tak hanya itu, jajanan anak berkacamata itu kaya karbohidrat dan gula, mulai dari minuman teh kemasan, mi instan, aci telur atau cilor, hingga berbagai makanan ringan lain.
Saat pulang sekolah, sekitar pukul 12.00, Fabian mengaku tak langsung makan siang tapi mengemil dulu. Biasanya, ia makan siang pukul 3 sore.
Kegemaran mengemil juga dialami Dian (10), siswi SD Negeri 5 Cipulir, Jakarta Selatan. Dengan tinggi 148 cm, ia memiliki bobot 65 kg. Geraknya lambat dan saat tersenyum, mata siswi kelas 4 SD itu hanya terlihat segaris, hampir tertelan oleh pipi bulatnya.
Jajanan kegemarannya adalah mi instan, martabak, kentang goreng dan takoyaki atau jajanan ala Jepang yang terbuat dari tepung. Dia jarang bawa bekal dari rumah karena kebiasaan itu umumnya dilakukan siswa kelas 1-3 SD.
Kebiasaan mengemil anak itu wajar mengingat banyak pedagang makanan berjajar didepan sekolah mereka. Warna dan aromanya jelas menggoda. Saat jam istirahat tiba, seperti yang terlihat di SD Negeri Grogol Utara 05 Pagi, Jakarta Selatan, Kamis (24/1/2019), penjaja makanan itu ramai dikelilingi siswa.
Clara (11), siswi kelas 5 di sekolah itu juga menyukainya. Tak hanya itu, di rumah pun ia suka mengemil sambil menonton televisi atau gawai, baik dengan aneka jajanan yang ada di rumah atau yang dijual pedagang keliling yang banyak lewat di depan rumahnya.
Sri Hartati (43), ibu Clara mengaku sudah menyarankan anaknya untuk mengurangi jajanan manis dan goreng-gorengan agar berat tubuhnya yang mencapai 70 kg dan tinggi badan 155 cm tidak makin besar. Namun, ia sulit mengontrolnya, terutama ketika anak berada di luar rumah.
"Dia juga tidak suka sayur meski saya dan suami penggemar sayur," katanya.
Orangtua
Anak-anak tak bisa disalahkan atas pola makan mereka yang tak terkendali. Di saat kemampuan berpikir logis mereka belum matang, tawaran makanan penggoda selera mudah ditemukan mulai dari gerbang sekolah, sekitar rumah, hingga iklan di media massa.
Bahkan dengan layanan pengiriman makanan melalui ojek daring, model makanan jenis apapun bisa mereka peroleh hanya dengan menggerakkan jari. Sayangnya, makanan manis, asin, berlemak dan berkalori tinggilah yang jadi kegemaran.
"Orangtua dan gurulah yang bisa dididik untuk mengatasi obesitas pada anak, bukan anaknya," kata Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia Hardinsyah.
Orangtua dan gurulah yang bisa dididik untuk mengatasi obesitas pada anak, bukan anaknya.
Orangtua berperan besar membentuk pola makan dan aktivitas gerak mereka. Menurut Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Damayanti Rusli Sjarif, 90 persen obesitas pada anak dipicu dari lingkungan.
"Orangtua menurunkan gaya hidup dan pola makan salah pada anaknya," katanya. Belum lagi, persepsi anak gemuk lucu dan menggemaskan juga masih kuat. Agar anak tidak obesitas, mereka harus makan dan gerak cukup dengan gizi imbang.
Ketua Indonesia Sport Nutritionis Association Rita Ramayulis menambahkan anak merekam baik kebiasaan makanan yang tersaji di rumah. Karena itu, kebiasaan makan makanan sehat dan beragam, termasuk sayur, buah, serta rendah gula, garam dan lemak, harus dimulai dari rumah.
"Kebiasaan itu akan dihafal anak ketika mengonsumsi makanan di luar rumah," katanya.
Selain pola makan, orangtua juga perlu memerhatikan pola aktivitas fisik anak. Jika anak terbiasa makan banyak, maka aktivitas fisiknya pun harus banyak agar banyak kalori dibakar dan tak jadi lemak.
Membiasakan aktivitas fisik itu, lanjut Rita, menjadi tantangan besar bagi orangtua masa kini. Kemajuan teknologi membuat anak betah berlama-lama di depan gawai. Belum lagi kesibukan sekolah serta aneka les dan kursus yang membuat waktu anak beraktivitas fisik makin kurang.
Situasi itu menuntut orangtua lebih jeli. Upaya mendorong aktivitas fisik anak sama pentingnya dengan meningkatkan kecerdasan akademiknya.
Meski demikian, orangtua saja tidak cukup. Guru dan sekolah punya andil besar karena banyak anak sangat berpegang teguh pada ucapan guru mereka. Kekuatan itu harusnya jadi modal pencegahan obesitas anak di sekolah.
Sejumlah sekolah sebenarnya memiliki program untuk menjaga asupan gizi siswanya. Seperti siswa SD Negeri Grogol Utara 05 Pagi yang diwajibkan bawa bekal makanan lengkap berisi nasi, sayur dan lauk dari rumah tiap Rabu. Jumatnya, mereka diminta membawa buah dan dilaksanakan senam bersama.
Namun mengontrol penjaja makanan di depan sekolah itu sulit. "Kami beberapa kali berbincang dengan pedagang agar tidak menggunakan minyak goreng berkali-kali. Tapi, kami tidak bisa mengontrol lebih," kata Kepala SD Negeri Grogol Utara 05 Pagi Sri Farhati.
Di luar orangtua dan sekolah, pemerintah pusat dan daerah sebenarnya punya andil besar untuk menciptakan makanan yang sehat bagi anak sekolah. Karena itu, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengingatkan, upaya mengatasi obesitas anak harus diselesaikan berbagai pihak bersama.
Membentengi anak di rumah saja tidak akan memberi hasil maksimal pencegahan obesitas. Demikian pula menjaga pola makannya saja, tanpa mendorong aktivitas fisik rutin. Untuk itu, momentum Hari Gizi Nasional 25 Januari seharusnya jadi awal berbagai pihak untuk bersatu mencegah obesitas pada anak. (SEKAR GANDHAWANGI/SUCIPTO/DEONISA ARLINTA/LARASWATI ARIADNE ANWAR)