Beberapa seniman generasi Y atau milenial yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997 ditantang untuk membuat karya seni kontemporer tentang konsep diri masing-masing. Hasilnya benar-benar kontekstual dan terasa mudah dipahami. Salah satu pesannya, mereka bosan membicarakan agama.
Sebanyak delapan seniman hadir di dalam Pameran The Concept of Self: Individuality & Integrity (Konsep Diri: Individualitas dan Integritas) di Galeri Salihara, Jakarta, 19 Januari hingga 3 Februari 2019. Mereka terdiri atas empat seniman dari Thailand, yakni Chayanin Kwangkaew, Chulayarnnon Siriphol, Kitikun Mankit, dan Thidarat Chantacua, serta empat seniman dari Indonesia, yaitu Antonio Sebastian Sinaga, Patriot Mukmin, Theo Frids Hutabarat, dan Rega Ayundya Putri.
Pusat Manajemen Seni dan Komunitas Arcolabs dari Universitas Surya menyelenggarakan kegiatan ini sebagai pameran kedua.
Pameran seri pertama digelar di Subashok The Art Center Bangkok, Thailand, 2017. Temanya tidak jauh beda, The Concept of Self: Power, Identity, and Labels (Konsep Diri: Kuasa, Identitas, dan Label).
Coba simak karya Antonio (32) yang berjudul ”We Are Tired” atau ”Kami Lelah”. Ia mengingatkan dirinya dan sebagian anak muda milenial yang pernah dijumpainya bahwa mereka telah lelah dengan perbincangan-perbincangan menyangkut agama.
Bagi bangsa yang tengah tumbuh meraih kesejahteraan bersama dan menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain, masih banyak hal selain agama untuk diperbincangkan. Antonio sudah enam tahun ini membuat karya yang bersinggungan dengan agama yang selalu diperbincangkan di media sosial ataupun ruang-ruang nyata di keseharian.
”Saya sudah capek bikin karya soal agama. Namun, sampai sekarang masih saja ramai soal agama,” ujar Antonio.
Ia memajang dua buah kanvas berukuran cukup besar di dinding. Di kanvas pertama terpampang delapan baris tulisan kata ”I Pray”. Di kanvas kedua, bertuliskan ”I’m Tired Talking about Religion, but Geez”.
Lewat karya ”I Pray”, Antonio mengesankan dirinya dan mungkin hampir semua orang senantiasa berdoa sesuai agama masing-masing. Di kanvas berikutnya, ia dengan lugas menyampaikan rasa lelah terhadap perbincangan menyangkut agama.
Terdapat beberapa meja untuk menempatkan perlengkapan sablon dan suvenir kaos bertuliskan sama dengan karya tersebut. Antonio mengajak kita berpikiran terbuka untuk melihat apa saja yang akan terjadi ketika tak henti-hentinya persoalan agama ramai diperbincangkan.
”Klaim kebenaran dan keangkuhan akan menutupi ketidaktahuan,” ujar Antonio, lulusan Seni Visual Institut Teknologi Bandung (ITB).
Thidarat Chantachua (26) menggelitik lewat karya kontemporernya, ”Bangkok Tea Project”. Pada malam pembukaan pameran, di ruang pamer ia menyeduh teh yang dibawanya dari Bangkok, Thailand, untuk dinikmati bersama.
Di dinding belakang meja penyeduhan teh tertera tulisan ”1862 Java Tea; 1933 English Tea; 1945 Thai Tea; 1947 Ceylon Tea”. Rangkaian angka itu menunjukkan angka tahun terjadi hegemoni peradaban teh di Bangkok.
”Karya saya adalah hasil observasi isu perbedaan rasial dan agama,” ujar Thidarat.
Thidarat adalah lulusan Magister Seni Murni Bidang Patung dan Seni Grafis dari Universitas Silpakorn, Bangkok. Lewat teh, ia menyiratkan persoalan silang budaya, termasuk agama, yang menawarkan cerita relokasi dan adaptasi dari waktu ke waktu.
Seniman Patriot Mukmin (31) menawarkan rasa optimistis baru terhadap perubahan cara-cara peralihan kekuasaan politik. Ia menyuguhkan karya fotografi ilusi optikal dan audio potongan suara pidato pengunduran diri Presiden Soeharto, 21 Mei 1998, melalui karya ”Reminiscence of 98” atau ”Kenangan 98”.
”Ketika Reformasi 1998 saya masih berusia 11 tahun. Pada 2004, saya memiliki rasa optimistis ketika mengikuti pemilihan presiden langsung untuk pertama kali,” ujar Patriot, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Ketidakpastian
Kitikun Mankit (34) menyajikan karya ”The Moon 2018” yang juga berkisah tentang masyarakat politik Thailand melalui beberapa lukisan surealismenya. Lulusan Magister Seni Murni King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang, Bangkok, ini menyiratkan ketidakpastian hidup.
Sebuah karya lukisan dan patung dari manik-manik plastik berjudul ”How to Live with The Thougth That Sometimes Life Ends” disuguhkan Rega Ayundya Putri (31). Melalui rangkaian manik-manik, ia menghadirkan aktivitas repetitif yang bermakna meditatif.
”Karya saya adalah sebuah meditasi untuk pikiran-pikiran yang berkecamuk, semacam pengobatan juga,” kata Rega.
Menjalani sesuatu yang semula menjadi penolakan dan keengganan, bagi Rega, justru akhirnya memberi ketenangan. Karyanya bercerita tentang mengelilingi kesadaran dan alam bawah sadar.
Chayanin Kwangkaew dalam karyanya ”Silent Speak II” menghadirkan lukisan realisme hitam putih. Ia mengurangi intensitas warna.
Baginya, melalui lukisan hitam putih ini upaya mencipta ulang makna dan mempertanyakan kembali arti kehidupan. Sebab, di dalam masyarakat yang saling terhubung itu telah mendapat stimulasi visual dengan warna-warna berlebihan.
Theo Frids Hutabarat (32) menghadirkan karya lukisan ”Empty #1”. Ada di antaranya lukisan bercorak abstrak yang diberi tulisan ”Empty”. Ada lagi lukisan realisme menampakkan seseorang dari belakang sedang menatap lukisan abstrak.
Chulayarnnon Siriphol menyuguhkan video musik berdurasi enam menit berjudul ”The Internationale”. Ia menginterpretasi nyanyian sayap kiri ”The Internationale” sebagai gubahan anarkis Eugene Pottier ketika merespons kongres pekerja First International pada 1864.
Pada kongres berikutnya di tahun 1889, nyanyian itu diadopsi sebagai lagu resmi. Setelah itu dialihbahasakan ke berbagai bahasa lain di dunia dan menjadi bagian sentral pergerakan komunis, sosialis, anarkis, dan sosialis demokratis.
Kurator pameran terdiri dari Jeong-ok Jeon, Linjie Zhou, dan Jongsuwat Augsuvarnsiri. Mereka menggarisbawahi, dari beragam karya itu, mungkin para pemirsanya ingin menemukan identitas seni Thailand dan Indonesia.
Pemirsa mungkin akan kecewa karena di dalam pameran ini tidak berhasil menemukan identitas seni regional itu. Satu yang pasti, karya-karya itu antara lain menyiratkan pesan bahwa mereka bosan membahas agama.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.