JAKARTA, KOMPAS – Kehadiran panel ahli dalam proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat masih akan dibahas di dalam rapat Komisi III DPR. Belum ada kata sepakat bulat mengenai keterlibatan panel ahli dalam seleksi karena pembahasan baru akan dilakukan Komisi III DPR, pekan depan.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan mengatakan panel ahli akan dibentuk pekan depan dalam rapat pleno, termasuk pengumuman nama-nama pendaftar seleksi (Kompas, 25/1/2019). Sebanyak 12 orang telah resmi mendaftar sebagai peserta seleksi hakim konstitusi oleh DPR.
Kendati demikian, untuk mencapai kata sepakat itu harus melalui pembahasan di raapt pleno yang belum tentu juga disetujui oleh semua fraksi di dalam rapat pleno. “Tentu kami menginginkan proses seleksi itu berjalan transparan, obyektif, dan tidak hanya mengutamakan faktor politik semata-mata, tetapi juga melihat kualitas atau kompetensi para calon. Oleh karena itu, usulan untuk membentuk panel ahli itu mengemuka. Tetapi itu harus dibicarakan di dalam rapat pleno, dan tentu saja belum tentu semuanya setuju anggota Komisi III terhadap usulan itu,” kata Arsul Sani, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Jumat (25/1/2019) di Jakarta.
Namun, sejumlah fraksi, menurut Arsul, cenderung untuk menyetujui adanya panel ahli tersebut guna meningkatkan kualitas seleksi. Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan, sebelumnya, mengatakan, dirinya menginginkan juga peran panel ahli itu untuk membantu seleksi hakim MK dilakukan obyektif dan terbuka. Panel ahli juga diharapkan bisa memberikan masukan kepada anggota Komisi III tentang rekam jejak para calon, dan hal-hal apa saja yang perlu digali dari para calon untuk mengetahui kualitas mereka.
Trimedya juga mendukung bila masyarakat dilibatkan untuk memantau rekam jejak para calon setelah nama-nama mereka diumumkan kepada publik. “Misalnya, walaupun yang mendaftar adalah mantan Ketua KY, perlu dipantau oleh masyarakat bagaimana selama ini ia menjalankan tugasnya, apakah ada penyimpangan yang dilakukan, atau tidak. Begitu juga dengan inkumben (dua hakim petahana), bagaimana selama ini kinerjanya sebagai hakim konstitusi, dan sebagainya,” katanya.
Namun, kepastian mengenai mekanisme seleksi itu masih akan dibahas di dalam rapat pleno Komisi III.
“Kalau tidak ada panel ahli tentu disayangkan karena proses pemilihan itu akan semata-mata menjadi proses politik, yakni cuma kecocokan dan kesukaan pada calon. Padahal yang diharapkan ialah supaya proses di DPR itu sekalipun merupakan proses politik, tetapi bukan berarti tidak memerlukan kualitas yang obeyktif, atau mengabaikan kualitas calon,” kata Arsul.
Setengah-setengah
Belum pastinya mekanisme seleksi hakim konstitusi itu di sisi lain memicu kecurigaan publik. Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, mekanisme yang belum jelas itu seolah menampatkan sikap DPR yang setengah-setengah dalam menjalankan seleksi yang transparan dan terbuka.
“DPR seakan-akan membuka pendaftaran yang terbuka dan transparan, tetapi kok hanya lima hari kerja. Bila dibandingkan dengan seleksi dengan lembaga negara lain, waktu pendaftaran ini terlalu sempit. Beda dengan pendaftaran seleksi hakim MK dari presiden yang mencari penggati Prof Maria (Maria Farida Indrati), waktu pendaftarannya 7-31 Mei 2018. Begitu juga pendafataran hakim agung di Komisi Yudisial yang dibuka 15 Agustus-6 September 2018,” kata Bayu.
Jumlah pendaftar 12 orang pun dinilai masih kurang untuk memperebutkan dua kursi hakim konstitusi. Untuk delapan posisi hakim agung yang lowong, misalnya, KY menerima 85 pendaftar. Adapun untuk satu posisi hakim konstitusi yang lowong sebagai pengganti Maria Farida Indrati, ada 16 pendaftar. Minimnya pendaftar ini membuat kemungkinan terpilihnya orang-orang dengan kompetensi baik makin kecil.
Selain itu, menurut Bayu, pemilihan panel ahli setelah pendaftaran ditutup juga menjadi anomali, karena tugas mereka menjadi tidak jelas. Dalam seleksi hakim konstitusi oleh presiden, misalnya, panitia seleksi yang terdiri atas para ahli dibentuk terlebih dulu baru pendaftaran dibuka. Namun, DPR melakukan cara yang berbeda.
“DPR harus segera memastikan siapa saja nama-nama panselnya, dan mereka semestinya yang menangani seleksi itu. Setelah terpilih, misalnya, empat nama yang mengerucut, barulah nama-nama itu diserahkan ke DPR untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) oleh mereka,” kata Bayu.