Sulawesi Selatan memang dikenal memiliki curah hujan tinggi, namun curah hujan merata 100 milimeter per hari, bahkan di beberapa lokasi terpantau di atas 300 milimeter per hari, merupakan fenomena tak lazim. Intensitas hujan ektrem ini pun tak mampu tertampung daya dukung alam, memicu bencana banjir yang menewaskan puluhan orang.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Kamis (14/1/2019), banjir telah melanda 78 desa di 10 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, menyebabkan 30 orang meninggal dunia, 25 hilang, 5.825 orang terdampak, dan merendam 2.694 rumah dan 11.333 hektar sawah. Banjir juga diikuti dengan longsor dan puting beliung.
Berdasarkan penelusuran dalam Data Informasi Bencana Indonesia-BNPB, skala bencana banjir dan jumlah korban saat ini merupakan tertinggi kedua yang pernah terjadi di Sulsel sejak 1998. Sebelumnya, banjir menewaskan 238 orang di Sulsel pada tahun 2006 dari 30 kali kejadian. Banjir terparah pada tahun itu terjadi di Kabupaten Sinjai pada bulan Juni 2006 yang menewaskan 220 orang.
Dari aspek cuaca, bencana banjir kali ini dipicu oleh hujan ektrem hingga di atas 300 milimeter per hari yang terekam di sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan pada Selasa (22/1). Curah hujan tertinggi terdapat di Lengkese, Kabupaten Takalar yaitu 329 milimeter (mm) per hari.
Sementara di Pos 1 Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, curah hujan ekstrem tercatat mencapai 308 mm per hari dan di Pattene, Marusu, Kabupaten Maros mencapai 310 mm per hari. Di Stasiun Meteorologi Hasannudin di Makassar curah hujan tercatat 197 mm per hari dan di Maros terekam curah hujan 133 mm per hari.
Menurut kategori Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), hujan dikatakan ringan jika intensitasnya 5 - 20 mm per hari, sedang dengan 20 -50 mm per hari, lebat jika 50 - 100 mm per hari, dan sangat lebat atau ekstrem jika di atas 100 mm per hari. Jadi, hujan hingga 300 mm per hari tergolong sangat ekstrem dan relatif jarang terjadi.
"Curah hujan di Sulsel kali ini, jauh lebih tinggi dari rata-ratanya. Ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor cuaca, baik regional maupun lokal," kata Kepala Subbidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra.
Curah hujan di Sulsel kali ini, jauh lebih tinggi dari rata-ratanya. Ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor cuaca, baik regional maupun lokal.
Penyebab utamanya adalah pergerakan MJO (Madden Julian Oscillation) fase basah yang berada tepat di atas perairan Indonesia bagian tengah. MJO merupakan, aliran massa udara di garis khatulistiwa dari barat ke timur secara periodik dan bergantian antaraperiode basah dan kering. Pada saat bersamaan mengalir monsun dingin dari Laut China Selatan, selain juga munculnya terdapat area konvergensi atau pusat tekanan rendah di Asutralia.
Faktor lain yang juga berpenagruh adalah adanya pertumbuhan awan konvektif supersel yang besar yang dipicu adanya daerah sumbu arus angin pasat di sepanjang garis tropis (The Inter Tropical Convergence Zone/ITCZ). Jalur ini saat ini melintang di atas Laut Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Keberadaan ITCZ itu biasanya bertahan sepanjang Februari karena mengikuti posisi gerak semu matahari, sehingga mempengaruhi terjadinya puncak musim hujan di zona iklim monsunal. Kebetulan kali ini, ITCZ ini sebagian lintasannya di atas daratan Sulawesi Selatan. "Sebagian hujan lebat sebenarnya jatuh di laut. Kalau ada dorongan angin dan lintasannya serong sedikit ke selatan, di atas Jakarta bisa banjir besar juga," kata Agie.
Perubahan Tren
Fenomena cuaca, sebenarnya memiliki ketidakpastian tinggi dan bisa berubah dengan cepat. Kali ini, kombinasi beberapa faktor cuaca yang memicu hujan tinggi jatuh di daratan Sulsel. Namun, secara klimatologi yang bisa melihat perubahan secara jangka panjang, sebenarnya juga terjadi perubahan tren.
"Semakin ke sini, tren bencana hidrometerologi di Indonesia meningkat, mulai dari banjir, longsor, hingga puting beliung. Selain kerapatan pendataan, ada perubahan pola hujan dan iklim," kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.
Semakin ke sini, tren bencana hidrometerologi di Indonesia meningkat, mulai dari banjir, longsor, hingga puting beliung. Selain kerapatan pendataan, ada perubahan pola hujan dan iklim.
Kajian yang dilakuan Siswanto untuk disertasinya menemukan, tren hujan ektrem di Indonesia, khsusnya di Jakarta, tahun 1900 - 2010 mengalami peningkatan intensitas yang signifikan. "Hujan lebat berdurasi pendek (antara 1-3 jam), meningkat signifikan secara statistik. Hujan berdurasi menengah (4-6 jam), dan durasi lama (> 6 jam), meningkat, meski belum terlalu tinggi," katanya.
Dengan peningkatan signifikan hujan ekstrem berdurasi pendek ini, menurut Siswanto, risiko bencana banjir jadi meningkat. "Perubahan tren selama puluhan tahun ini, mungkin salah satu indikasi perubahan iklim," ujarnya.
Untuk pola hujan di Sulsel, menurut pencatatan curah hujan di Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makasar selama tahun 1981-2016, menunjukkan ada besaran intensitas hujan. Contohnya, untuk intensitas hujan 20 mm/hari bertambah sebanyak 0.1149 hari setiap tahunnya atau 1.149 hari setiap dekade.
Dengan tren ini, risiko bencana banjir di Indonesia, terutama di Sulsel, rata-rata meningkat. Kerentanan bencana ini semakin bertambah dengan degradasi lingkungan dan kepadatan hunian yang merangsek di area dataran banjir.