Logika Hakim Kasasi Terbalik
SURABAYA, KOMPAS — Putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap Baiq Nuril Maknun tidak mencerminkan kualitas peradilan karena mengabaikan konteks yang terjadi. Paradigma putusan sangat formalistik dan logika majelis hakim dianggap terbalik. Untuk itu, terhukum dipandang perlu bebas dari jeratan hukum.
Demikian mengemuka dalam eksaminasi putusan Baiq Nuril oleh Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga (Unair) dan Serikat Pengajar HAM Indonesia (Sepaham), Jumat (25/1/2019), di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, Jawa Timur.
Sidang eksaminasi dihadiri sepuluh anggota majelis yang merupakan dosen ilmu hukum di Unair, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Universitas Trunojoyo Madura, Universitas Brawijaya, Universitas Jember, dan Universitas Mataram. Satu anggota majelis, yakni Amira Paripurna dari Departemen Hukum Pidana Unair, memberikan pendapat hukum melalui surat elektronik karena masih dalam masa studi di Eropa.
”Dari eksaminasi tadi, sebelas anggota majelis tidak ada yang berbeda pendapat. Kami berharap majelis hakim yang akan menangani peninjauan kembali kasus itu mempertimbangkan argumentasi dari kami hasil eksaminasi ini,” ujar Herlambang Wiratraman, Ketua Pusat Studi Hukum HAM Unair.
Eksaminasi memperlihatkan putusan kasasi mengabaikan konteks yang terjadi. Sejatinya, ada pelecehan seksual yang menimpa Baiq Nuril, tetapi tidak digali secara mendalam dan menjadi pertimbangan majelis hakim kasasi.
Majelis hakim kasasi dianggap mengedepankan logika dan sikap formalistik dalam membuat putusan yang sesuai dengan pasal-pasal yang dianggap dilanggar oleh terhukum. ”Saya khawatir cara pandang formalistik akan membuat kasus-kasus seperti ini tidak pernah mendapat rasa keadilan dan kepastian hukum,” ujar Herlambang.
Masitoh Indriani, dosen Ilmu Hukum Unair sekaligus pegiat Forum Akademisi untuk Kebebasan Ekspresi, menilai, ada pola pikir yang terbalik dari majelis hakim kasasi. Baiq Nuril dianggap melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga dijatuhkan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Padahal, oleh Pengadilan Negeri Mataram, Baiq Nuril diputus bebas.
Masitoh mengatakan, jerat UU ITE terhadap Baiq Nuril yang sejatinya merupakan korban pelecehan seksual tidak tepat. Baiq Nuril memang merekam rekaman pembicaraan telepon dengan ”saksi korban” yang adalah Kepala SMA Negeri 7 Mataram (H Muslim). Rekaman itu disimpan selama setahun sampai diberikan kepada saksi lainnya dan disebarluaskan bukan oleh Baiq Nuril sendiri. Tindakan merekam dan menyimpan karena Baiq Nuril merasa terancam oleh pelecehan seksual secara verbal. Selanjutnya, memberikan rekaman itu ke orang lain merupakan upaya untuk mendapatkan rasa aman.
”Digital rights menjamin hak-hak warga negara antara lain untuk mengakses, berekspresi, dan rasa aman. Majelis hakim menganggap tersebarnya rekaman yang dianggap menyerang H Muslim melalui personal data merupakan logika keliru,” tutur Masitoh yang mendalami hukum siber.
Data pribadi menyangkut informasi rahasia, misalnya agama, orientasi seksual, dan pandangan politik (ideologi), tidak ada dalam rekaman pernyataan H Muslim yang tersebar. UU ITE lebih tepat digunakan untuk menjerat praktik-praktik kecurangan dalam transaksi elektronik, misalnya jual beli secara dalam jaringan internet. Untuk kesusilaan, aturan ini lemah.
Iqbal Felisiano dari Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Unair melihat Baiq Nuril tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Baiq Nuril merekam, menyimpan, dan memberikan rekaman dianggap sebagai perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri dan kehormatan kesusilaan karena ada serangan atau ancaman serangan yang amat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Ini sesuai dengan Pasal 49 Ayat (1) KUHP. Selanjutnya, Ayat (2) menyatakan, pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana. ”Bagi saya, tindakan Baiq Nuril yang merekam dan menyimpan lalu memberikan rekaman itu pun atas desakan orang lain bukan perbuatan melawan hukum. Dari sudut pandang ini, putusan kasasi cacat hukum,” katanya.
Widodo Dwi Putro, dosen hukum Universitas Mataram, menambahkan, putusan kasasi menyatakan Baiq Nuril secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal ini Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Majelis hakim meyakini terhukum memenuhi segala persyaratan melakukan perbuatan melanggar hukum. Padahal, di tingkat PN Mataram, Baiq Nuril dinyatakan tidak bersalah.
Perbedaan putusan di tingkat kasasi membuktikan majelis hakim kasasi menabrak Pasal 197 Ayat (1) huruf h Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan surat putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
Padahal, tindakan Baiq Nuril tidak memenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Ketentuan Pasal 197 Ayat (1) Kuhap tidak terpenuhi. Untuk itu, Ayat (2) menyatakan, tidak terpenuhi ketentuan tadi mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dina Tsalist dari Center of Human Rights and Migrain Universitas Jember menilai, perlu ada definisi khusus yang mengatus soal kekerasan verbal seperti yang dialami Baiq Nuril. Hal itu untuk melindungi korban-korban pelecehan seksual dalam kasus-kasus seperti ini karena hukum pidana hanya mengatur aktivitas fisik, seperti pemerkosaan dan pelecehan. ”Apa yang dialami Baiq Nuril sesungguhnya adalah pelecehan seksual secara verbal di tempat kerja,” ucapnya.
Fanny Tanuwijaya, dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan anggota Pusat Studi Perlindungan Perempuan dan Anak, mengatakan, saat menyimpan rekaman pembicaraan, Baiq dalam keadaan pasif karena tidak menyebarkannya kepada khalayak. Selama setahun, rekaman hanya disimpannya sendiri. ”Kasus ini adalah pelecehan seksual. Seharusnya majelis hakim bisa melihat latar belakang terjadinya peristiwa ini,” katanya.
Dosen FK Universitas Trunojoyo Madura, Devi Rahayu, menilai Baiq adalah korban kriminalisasi. Ada fakta yang dibalik karena sesungguhnya Baiq adalah korban yang memiliki bukti-bukti pelecehan seksual. ”Yang terjadi justru dia dianggap sebagai pelaku, padahal dia adalah korban,” ujarnya menegaskan.