JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai saksi kasus suap untuk pergurusan izin proyek pembangunan Meikarta dengan tersangka Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin, Jumat (25/1/2019). Tjahjo mengakui sempat memberi arahan kepada Neneng.
Tjahjo bicara dengan Neneng saat bupati Bekasi nonaktif tersebut sedang rapat bersama Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono. "Saya nelpon ke dirjen saat sedang ada rapat, disampaikan bahwa di dalam ruangan pak dirjen ada bupati (Bekasi). Hasil rapat sudah selesai bahwa intinya perizinan itu yang mengeluarkan adalah bupati atas rekomendasi gubernur. Saya bilang, \'Mana Bu Nenengnya, saya mau bicara. Ya sudah, kalau sudah beres semua segera bisa diproses sesuai aturan.\' Ya sudah itu saja," ujar Tjahjo menjelaskan.
Menurut Tjahjo, arahan soal proses perizinan Meikarta tersebut dia berikan dalam kapasitasnya sebagai mendagri. Arahan itu diberikan karena ia berwenang memastikan investasi apapun di daerah dilakukan sesuai prosedur. Bukan karena proyek Meikarta merupakan investasi dalam nilai yang besar. "Ya itu tugas saya sebagai mendagri," katanya.
KPK memeriksa Tjahjo untuk mengonfirmasi sejumlah fakta yang muncul di persidangan perkara korupsi perizinan proyek Meikarta. "Penyidik mengonfirmasi sejumlah fakta persidangan, termasuk komunikasi dengan Bupati Bekasi (Neneng)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Salah satu fakta yang didalami penyidik antara lain terkait proses perizinan Meikarta yang proses pembahasannnya yang dilakukan Neneng bersama Direktorat Jenderal Otoritas Daerah Kemendagri.
Nama Tjahjo memang disinggung Neneng dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung, 14 Januari 2019. Saat itu jaksa KPK menanyakan pertemuan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) dengan Bupati Bekasi pada Oktober 2017. Pertemuan itu diakomodir Ditjen Otda.
Tjahjo pun menjelaskan bahwa Kementerian Dalam Negeri, termasuk dirinya, tidak berwenang memberikan izin. "Bukan kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk memberikan izin investasi di daerah," kata Tjahjo.
Ia menjelaskan, perizinan proyek investasi ada di tangan bupati melalui rekomendasi gubernur. Ini sesuai Peraturan Daerah Provinsi Jabar Nomor 12 Tahun 2014 tentang pengelolaan pembangunan dan pengembangan metropolitan. Atas aturan tersebut, pembangunan Meikarta baru bisa dilaksanakan jika ada rekomendasi dari gubernur.
Dengan alasan itu, ia memastikan langkah itu dilakukan sesuai aturan.
Fasilitator
Dirjen Otda Soni Sumarsono, saat dipanggil KPK sebagai saksi pada 10 Januari 2019, menyampaikan bahwa Kemendagri hanya memfasilitasi pertemuan antara Pemprov Jawa Barat dengan Bupati Bekasi.
Pertemuan itu turut dihadiri perwakilan PT Lippo Cikarang, dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP), dan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sejak pertemuan itu, Gubernur Jabar menerbitkan keputusan gubernur untuk memproses rekomendasi izin proyek Meikarta. Gubernur lalu melimpahkan tugas membuat rekomendasi kepada Dinas PMPTSP. Prosedur itu sesuai Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014.
Hal itu disampaikan mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan alias Aher, yang dipanggil oleh KPK sebagai saksi pada 9 Januari 2019. Ia dimintai keterangan mengenai perannya dalam mendelegasikan pelayanan dan penandatanganan rekomendasi perizinan lahan.
Menurut Aher, Pemprov Jabar telah merekomendasikan izin lahan seluas 84,6 hektar untuk pembangunan proyek Meikarta. Luas tersebut jauh dari angka 774 hektar yang menjadi rencana awal pembangunan proyek Meikarta.
Untuk memuluskan perizinan lahan seluas itu, Billy Sindoro, selaku Direktur Operasional Lippo Group saat itu, menjanjikan pemberian komitmen fee dalam tiga tahap kepada Bupati Bekasi dan pejabat terkait. Pada tahap pertama, pihak Lippo Group menjanjikan uang sebesar Rp 13 miliar sebagai upaya suap.
Pada 15 Oktober 2018, KPK menggelar operasi tangkap tangan dan menyita uang sekitar Rp 1,5 miliar dari sejumlah pejabat Kabupaten Bekasi dan pihak swasta.
Sampai saat ini, KPK menetapkan sembilan orang tersangka yaitu Neneng, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat MBJ Nahor, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi. Semuanya diduga menerima suap.
Adapun tersangka pemberi suap adalah Billy Sindoro, Henry Jasmen P Sitohang selaku pegawai Meikarta, serta dua konsultan Meikarta, yakni Fitradjaja Purnama dan Taryudi. (ERIKA KURNIA)