JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan teknologi informasi membuat milenial rentan terhadap depresi. Dibutuhkan intervensi berupa layanan konseling agar milenial dapat menghindari dan mengatasi depresi tersebut. Konseling itu tak hanya dari lembaga pendidikan, tetapi juga bisa dari keluarga dan teman.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Theresia Indira Shanti mengatakan, pergaulan di dunia maya merupakan salah satu contoh faktor pemicu depresi pada milenial. Sementara, selama berinteraksi di dunia maya, sebagian besar milenial tak memperoleh pendampingan dari orangtua untuk menyikapi fenomena pergaulan di media sosial.
Secara umum pun, usia remaja merupakan masa yang rentan. Contohnya pada mahasiswa tahun pertama, mereka mengalami tantangan besar karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Selain itu, mereka juga menghadapi tuntutan akademis dan perubahan relasi dengan orangtua dan teman.
“Dulu, cukup mudah untuk melihat konteks pergaulan remaja. Kita lihat dia bertemu dan berteman dengan siapa saja. Tapi, melihat konteks pada milenial sekarang tergolong sulit," jelas Theresia.
Kerentanan milenial terhadap depresi itu disampaikan Theresia pada Seminar Diseminasi Paparan Hasil Penelitian tentang Pelayanan Kesehatan di Perguruan Tinggi, di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Lebih lanjut Theresia menyampaikan, di tengah kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, interaksi remaja generasi milenial lebih luas dibandingkan remaja generasi sebelumnya. Hal itu terjadi karena perkembangan teknologi informasi yang menyediakan berbagai macam ruang interaksi, dan juga informasi.
"Interaksi mereka sudah luas karena perkembangan teknologi. Ada pula informasi-informasi tidak terbatas yang mereka bisa akses,” jelasnya.
Menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017, dari 262 juta penduduk Indonesia, sebanyak 143,26 juta orang telah menikmati layanan internet. Angka ini meningkat bila dibandingkan dengan data pada 2016, yaitu 132,7 juta orang (Kompas.id, 20/2/2018).
Sementara itu, sebanyak 49,52 persen pengguna internet di Indonesia adalah penduduk berusia 19-34 tahun. kelompok usia ini dikategorikan sebagai geneasi milenial. Dari data ini, lebih dari 80 persen orang memanfaatkan internet untuk berkirim pesan teks atau chatting (Kompas.id, 25/2/2018).
Lewat media sosial, Theresia memberikan contoh, remaja belajar mendefenisikan remaja keren dan berprestasi. Tak hanya konten informasi yang dibagikan di media sosial yang dijadikan referensi, namun komentar warganet juga dijadikan referensi oleh milenial untuk mencapai defenisi remaja keren dan berprestasi yang ideal.
Secara tidak sadar, milenial akan berusaha mencapai standar tersebut. Namun, ada pula yang tidak dapat mengikuti standar itu. Padahal, menurut Theresia, setiap orang memiliki potensinya masing-masing.
“Akibatnya, ada yang meyalahkan diri sendiri dan memberi label tertentu pada dirinya. Ini namanya internalisasi atas hal yang tidak berhasil dicapai. Internalisasi bisa menyebabkan depresi. Selain itu, faktor lingkungan yang tidak tersaring dengan baik juga menyebabkan depresi,” jelasnya.
Untuk mengatasi milenial yang alami depresi akibat kondisi itu, perlu dilakukan intervensi. "Intervensi itu bisa dilakukan melalui layanan konseling yang bersifat preventif, kuratif, dan promotif," terangnya.
Ketua Program Studi S2 dan S3 Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Irwanto mengatakan, layanan konseling yang ideal harus mencakup dua hal, yaitu tindakan promotif dan kuratif. Menurutnya, tindakan yang paling banyak dilakukan bersifat kuratif, yakni tindakan yang diambil ketika seseorang membuat masalah karena depresi.
“Tindakan promotif juga harus kita perhatikan. Sebab, tindakan promotif dilakukan sebelum ada peristiwa lanjutan akibat depresi. Itu bisa dilakukan dengan seminar, diskusi, atau praktik-praktik yang menarik (tentang kesehatan mental),” kata Irwanto.
Ia menambahkan, layanan konseling di lembaga pendidikan juga harus mampu mengembangkan potensi mahasiswa secara optimal. Layanan ini dapat dilakukan dengan membuka ruang-ruang untuk berdiskusi, bercerita, hingga untuk bekerja sama. (SEKAR GANDHAWANGI)