CIREBON, KOMPAS — Jumlah penderita stunting atau tubuh pendek akibat kekurangan gizi kronis di Indonesia masih tinggi, mencapai 7 juta anak. Jika tidak diatasi, hal ini rentan mengancam daya saing bangsa di masa depan. Pemerintah pusat hingga tingkat desa diminta berperan mengatasi persoalan tersebut.
Mengutip data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi anak di bawah umur lima tahun yang mengalami stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen atau setara 7 juta balita. Angka ini menurun dibandingkan data Riskesdas 2013, sebesar 37,2 persen atau setara 9 juta balita.
”Meskipun menurun, jumlah penderita stunting masih tinggi. Satu dari tiga anak Indonesia masih alami stunting,” ujar Kepala Sub-Penguatan Kegiatan Bidang Kesehatan di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Anang Suryana, dalam acara kampanye pencegahan dan penanganan stunting di depan Kantor Bupati Cirebon, Jawa Barat, Jumat (25/1/2019).
Turut hadir dalam kegiatan itu Penjabat Bupati Cirebon Dicky Saromi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Eni Suhaeni, serta petugas puskesmas yang tersebar di 40 kecamatan di Cirebon. Dalam acara itu, para pejabat daerah di Cirebon ikut menandatangani komitmen pencegahan dan penanganan stunting.
Anang memaparkan, dari 34 provinsi, prevalensi tertinggi ada di Nusa Tenggara Timur sebesar 52 persen. Sementara prevalensi terendah atau di bawah 20 persen hanya DKI Jakarta. Di Jabar, prevalensinya 29 persen. Pemprov Jabar menargetkan tidak ada stunting tahun 2023.
Angka itu masih di atas toleransi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), maksimal 20 persen atau seperlima jumlah anak balita. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting tahun 2019 turun menjadi 28 persen.
”Jika stunting tidak diatasi, generasi emas Indonesia tidak ada,” ujarnya. Stunting dapat memengaruhi kemampuan otak. Dalam jangka panjang, anak akan kalah bersaing di dunia kerja. Ini akan berdampak pada daya saing terhadap bangsa.
Menurut Anang, pemerintah telah menyusun strategi penanganan stunting. Saat ini, terdapat 160 kota/kabupaten yang menjadi fokus penanganan sekaligus pencegahan stunting, salah satunya Kabupaten Cirebon. Di tingkat pemerintah pusat, terdapat 23 kementerian dan lembaga yang turut menangani anak yang pertumbuhannya tidak sesuai dengan usianya tersebut.
”Stunting ini bukan urusan Kementerian Kesehatan saja. Perlu kerja sama lintas sektoral. Komitmen pemerintah daerah hingga tingkat desa sangat penting. Seharusnya, dana desa juga digunakan untuk menangani masalah ini, selain kebijakan di bidang pangan,” ujarnya.
Apalagi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Gerakan tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan stunting.
Penjabat Bupati Cirebon Dicky Saromi berkomitmen mencegah dan menangani stunting melalui peran lintas sektor. Pihaknya, misalnya, akan meminta Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan untuk memastikan persediaan air bersih bagi masyarakat. Sebab, air bersih erat kaitannya dengan stunting. Di Cirebon, prevalensi stunting mencapai 8,63 persen atau setara dengan 15.765 anak.
”Kami optimistis, bisa mencapai zero stunting lima tahun ke depan. Dengan catatan, ini dikerjakan lintas sektoral. Setiap tahun, kami berhasil menurunkan 2 persen prevalensinya,” ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Kabupaten Cirebon Edi Susanto.
Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pemerintah desa di Cirebon untuk mengalokasikan dana desa yang jumlahnya sekitar Rp 1 miliar per tahun untuk penanganan stunting. ”Kendala yang kami hadapi adalah pola asuh pada anak dan pernikahan dini.”
”Banyak ibu yang harus bekerja bahkan menjadi pekerja migran Indonesia. Namun, anaknya dititipkan ke keluarga sehingga pertumbuhannya tidak terpantau dengan baik. Di sisi lain, banyak orangtua yang belum siap punya anak karena menikah di bawah 16 tahun,” ujarnya.