JAKARTA, KOMPAS — PT Indosat Tbk membuka penawaran umum obligasi dan sukuk ijarah dengan total nilai Rp 10 triliun. Dana terkumpul akan dipakai untuk belanja modal tahun 2019.
Pertama, obligasi berkelanjutan III dengan total Rp 7 triliun. Pada tahap I, total nilai obligasi yang diterbitkan sebanyak-banyaknya sebesar Rp 1,5 triliun. Kedua, sukuk ijarah dengan total nilai Rp 3 triliun dan pada tahap pertama, total nilai yang diterbitkan sebanyak-banyaknya Rp 500 miliar.
Bookbuilding atau penawaran awal akan dilaksanakan pada 24 Januari sampai Rp 6 Februari 2019. Tanggal efektif diharapkan didapat pada 19 Februari 2019 sehingga pencatatan di Bursa Efek Indonesia dapat dilakukan pada 1 Maret 2019.
Presiden Direktur dan CEO PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo) Chris Kanter dalam paparan publik di Jakarta, Kamis (24/1/2019), mengatakan, belanja modal tahun 2019 akan sepenuhnya dipakai membiayai pembangunan infrastruktur jaringan akses, jaringan inti, dan teknologi informasi. Dengan pembangunan ini, diharapkan kapasitas bertambah dan jangkauan layanan meluas.
Industri telekomunikasi secara nasional masih mempunyai peluang pertumbuhan positif.
Sampai triwulan III-2018, jumlah pelanggan Indosat Ooredoo sebesar 64,1 juta orang atau turun 33,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Penurunan ini dia yakini karena dampak pemberlakuan kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan.
Meski demikian, Chris mengungkapkan, industri telekomunikasi secara nasional masih mempunyai peluang pertumbuhan positif. Berdasarkan riset internal, pertumbuhan pendapatan rata-rata industri secara tahunan dalam kurun tiga tahun mendatang berkisar 4-6 persen.
Hingga September 2018, Indosat Ooredoo mengoperasikan 11.636 pemancar berteknologi 4G LTE di 276 kabupaten/kota dengan cakupan populasi sebesar 60 persen.
”Pertumbuhan bisnis kami memang tidak bisa cepat karena pembangunan infrastruktur jaringan lambat. Maka dari itu, mulai tahun 2019, kami bekerja keras menggenjot pembangunan. Baik jaringan akses, inti, maupun perangkat teknologi informasi akan menunjang layanan 4G LTE,” ujar Chris.
Pada acara pisah dan sambut CEO Indosat Ooredoo pertengahan Oktober 2018, di salah satu restoran di Menteng, Jakarta, dia menyebutkan, belanja modal yang dibutuhkan perusahaan sampai tiga tahun mencapai Rp 30 triliun. Ooredoo sebagai salah satu pemegang saham disebut-sebut mau memenuhi kebutuhan itu.
Namun, dalam acara paparan publik kemarin, Direktur and Chief Financial Officer Eyas Naif Assaf mengatakan, belum ada keputusan mengenai hal tersebut. ”Masih didiskusikan (Ooredoo jadi menggulirkan dana untuk belanja modal),” katanya.
Indosat Ooredoo diketahui memiliki utang yang jatuh tempo pada 2019. Dilihat dari utang bank, misalnya, utang yang jatuh tempo pada triwulan I-2019 meliputi revolving credit facility (RCF) Bank Permata sebesar Rp 200 miliar, RCF Citibank Rp 850 miliar, cicilan HSBC Prancis-Cofase 7,8 juta dollar AS, dan cicilan HSBC Prancis-Sinosure 2,2 juta dollar AS.
Pada triwulan II-2019, utang bank yang jatuh tempo yaitu RCF Bank CIMB Niaga sebesar Rp 250 miliar. RCF artinya kredit bank yang dipakai menutup atau melunasi utang lainnya. Eyas mengklaim, pihaknya masih memiliki utang bernilai cukup besar dan kas internal guna menutup utang yang jatuh tempo pada 2019.
Hingga September 2018, pendapatan Indosat Ooredoo mencapai Rp 16,769 triliun, sedangkan beban perusahaan sebesar Rp 16,586 triliun. Sepanjang tahun 2013 hingga September 2018, nilai ekuitas Indosat Ooredoo lebih kurang Rp 13,8 triliun. Sementara liabilitas pada periode yang sama berkisar Rp 27,7 triliun-Rp 41,5 triliun. Dengan demikian, rasio utang terhadap ekuitas perusahaan cenderung besar.
”Kami sudah memiliki patokan rasio utang terhadap ekuitas yang aman bagi kinerja perusahaan. Kami selalu memantau pergerakan rasio,” kata Eyas.