Penyintas di Sulteng Mendapatkan Uang Jaminan Hidup
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Penyintas gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah yang mengungsi akan mendapatkan dana jaminan hidup selama dua bulan. Meskipun sangat terlambat, dana itu diharapkan membantu pemenuhan kebutuhan hidup harian penyintas.
Kepala Dinas Sosial Ridwan Mumu, Jumat (25//1/2019), mengatakan, dana itu dikucurkan per jiwa dengan besaran Rp 10.000 per hari selama dua bulan (60 hari). “Memang dana ini sangat terlambat karena data yang terus berubah, tetapi setidaknya sudah ada data yang bisa dijadikan acuan. Jaminan hidup hak pengungsi untuk membantu pemenuhan kebutuhan harian mereka,” kata Ridwan seusai diskusi penanganan pengungsi yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen Kota Palu dan Kabar Sulteng Bangkit di Palu.
Data yang dimaksud adalah data tahap I yang ditandatangani Gubernur Sulteng Longki Djanggola pada 8 Januari 2019 dan telah diserahkan kepada pemerintah pusat. Disebutkan jumlah pengungsi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, tiga daerah terdampak gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi tiga bulan lalu, sebanyak 172.000 jiwa.
Mereka tersebar di 400 titik pengungsian. Ada pengungsi yang menempati hunian sementara yang dibangun pemerintah dan swasta/lembaga sosial, tak sedikit pula pengungsi yang masih menghuni tenda-tenda darurat.
Selain pengungsi, data tersebut juga mencatat korban meninggal sebanyak 2.657 jiwa dan orang hilang sebanyak 667 jiwa. Korban terbanyak di Kota Palu, yakni 2.142 orang meninggal dan 532 orang hilang. Sisanya tersebar di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong.
Untuk kerusakan rumah, putusan gubernur menyebutkan total rumah rusak ringan, rusak sedang, rusak berat, dan hilang sebanyak 88.852 unit. Kerusakan masif terjadi di Palu dengan total 42.864 rumah.
Ridwan menyatakan, dana jaminan hidup itu dianggarkan oleh Kementerian Sosial. Saat ini, pemerintah kota/kabupaten tengah mengisi formulir yang disediakan Kementerian Sosial untuk setiap keluarga pengungsi. “Kalau semua formulir sudah diisi, kami segera sampaikan ke Kementerian Sosial, lalu dananya bisa dicairkan melalui rekening penerima,” ujarnya.
Kalau memang itu hak kami, harus diberikan. Semoga uang itu tidak dipotong-potong lagi ketika sampai ke tangan penyintas.
Meskipun data tahap I sudah diserahkan ke pemerintah pusat, Ridwan menyebutkan masih dibuka kesempatan kepada penyintas yang belum tercakup untuk masuk dalam data susulan. Data tahap I itu masih bisa berubah karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana akan memverifikasi lagi berdasarkan nama dan alamat yang tercantum dalam data.
Nova (42), penyintas yang mengungsi di kompleks pengungsian Kelurahan Petobo, Kota Palu, mengakui dirinya belum mendapatkan informasi terkait uang jaminan hidup tersebut. “Kalau memang itu hak kami, harus diberikan. Semoga uang itu tidak dipotong-potong lagi ketika sampai ke tangan penyintas,” ujarnya.
Keterlibatan penyintas
Dalam diskusi, fasilitator dari United Nations Development Programme (UNDP) Whisnu Yonar menyatakan, lambatnya sejumlah program prioritas, terutama pembangunan hunian sementara (huntara), disebabkan lemahnya koordinasi antarpihak.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tak berkoordinasi dengan baik sehingga target penempatan huntara meleset jauh dari akhir Desember 2019. Padahal, huntara yang layak merupakan salah satu standar dalam penanganan pascabencana.
Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Sulteng Dedy Askhari menyoroti minimnya pelibatan penyintas dalam penanganan pascabencana. Indikasinya, warga di Kelurahan Balaroa menolak tinggal di huntara dan lebih memilih mempercepat pembangunan hunian tetap.
Hal lain, penyintas di Kelurahan Petobo tak mau pembangunan hunian tetap jauh dari lokasi hunian awal mereka yang dilanda likuefaksi. “Masih ada program besar lain ke depan, termasuk pembangunan hunian tetap. Penyintas harus dilibatkan karena mereka subyek penanganan bencana,” ujar Dedy.