Transformasi Properti di Era Disrupsi (III)
Perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang dipengaruhi oleh kehadiran dunia digital, serta keterbatasan lahan dan aksesibilitas telah mengubah tren pasar properti. Tuntutan perubahan design pusat perbelanjaan mengakibatkan banyak yang beralih menjadi pusat rekreasi dan tempat makan. Desain dan lokasi hunian, perkantoran dan tempat penginapan juga turut berubah.
Masyarakat perkotaan sekarang tak ragu lagi menghuni hunian vertikal. Lokasi hunian yang tadinya bergerak ke arah pinggiran yang menawarkan lingkungan lebih asri serta harga lebih murah, sekarang kembali bergeser ke pusat kota. Gerakan back to the city semakin meluas dengan munculnya hunian-hunian vertikal di pusat kota dan mendekati stasiun angkutan massal yang harganya terjangkau bahkan lebih murah dibandingkan rumah tapak di pinggiran kota.
Meski demikian dari hasil jajak pendapat Kompas, hanya segelintir bagian (1,08 persen) masyarakat yang berminat tinggal di hunian vertikal seperti rusunawa ataupun apartemen. Hal senada juga diungkapkan dalam jajak pendapat September 2015 pada masyarakat Jabodetabek. Hampir 95 persen masyarakat Jabodetabek lebih memilih tinggal di rumah tapak, dibandingkan hunian vertikal.
Namun, jika keadaan memaksa seperti terkena penertiban hunian akibat proyek pembangunan pemerintah, sekitar 65 persen bersedia pindah ke rusunawa. Hal tersebut berarti hunian vertikal belum diminati sepenuhnya oleh masyarakat perkotaan Indonesia. Baik karena terbiasa tinggal di hunian menempel tanah, harga apartemen yang mahal, ancaman kebakaran dan gempa bumi, hingga status kepemilikan.
Meski jumlah peminat hunian apartemen masih rendah, pengembang terus membangun hunian vertikal. Laporan Perkembangan Properti Komersial yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan terjadinya peningkatan Indeks Pasokan Properti Komersial di segmen apartemen jual selama tiga tahun terakhir. Kuartal IV 2015, nilai indeks 201,28 dan meningkat menjadi 247,56 pada kuartal III 2018.
Adapun peningkatan suplai apartemen jual juga terjadi kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Makassar. Indeks pasokan properti komersial di Surabaya pada kuartal IV 2015 tercatat 103,18 dan meningkat menjadi 130,79. Di Bandung, meningkat dari 139,8 menjadi 153,25 pada periode yang sama. Menyusul juga di Makassar dari 100 menjadi 125,7.
Masifnya pembangunan apartemen tersebut, tidak sebanding dengan tingkat penjualannya. Daya beli apartemen di Jakarta misalnya, masih relatif belum maksimal. Data Colliers International Indonesia menyebutkan, pada tahun 2017, tingkat penyerapan unit apartemen sekitar 85,9 persen. Angka penyerapan itu sedikit lebih rendah dibandingkan angka penyerapan 2016, yakni 86,8 persen.
Rendahnya daya beli masyarakat tersebut juga tercermin dari survei Bank Indonesia. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) selama 2018 cenderung menurun dan tidak stabil setiap bulannya. Seperti IKK Januari mencapai 126,1, pada November mencapai 122,7. Bahkan Oktober mencapai titik terendah 119,2. Hal tersebut mengindikasikan, masyarakat belum terlalu optimis dengan kondisi ekonomi Indonesia, yang berpengaruh pada daya beli sektor properti.
Hunian Bertingkat
Hunian vertikal tinggi belum sepenuhnya diminati masyarakat perkotaan. Namun untuk menjawab keterbatasan lahan, masyarakat mulai beralih ke hunian bertingkat dua yang masih berupa rumah tapak, tapi merupakan rumah bertingkat dua.
Masyarakat perkotaan sekarang sudah terbiasa dengan luas lahan permukiman yang kecil yang rata-rata berukuran 75 hingga 100 meter persegi. Luas bangunan bisa lebih besar dari luas lahan karena biasanya berupa bangunan bertingkat.
Masyarakat yang dulu biasanya tinggal di rumah luas dengan jumlah kamar lebih dari dua, sekarang harus terbiasa dengan ketersediaan kamar yang jumlahnya hanya dua atau bahkan satu. Bahkan bisa jadi lokasi kamar ada di lantai dua dan berukuran kecil.
Ketersediaan rumah bertingkat dan berukuran kecil secara tidak langsung terkait dengan perubahan gaya hidup hunian. Seperti misalnya, ruang tamu yang bercampur dengan ruang keluarga, ruang makan yang bercampur dengan ruang tamu, atau bahkan ruang makan yang bercampur dengan dapur. Jika dulu rumah besar banyak sekat sebagai penanda batas antara ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan, sekarang dibiarkan terbuka tanpa sekat supaya rumah terlihat luas.
Masyarakat mulai terbiasa dengan rumah berukuran kecil, disertai dengan ukuran ruangan yang serba kecil. Pada akhirnya tren pasar properti hunian mulai berubah. Masyarakat menginginkan ukuran rumah yang lebih kecil, dengan harapan harganya lebih terjangkau dibandingkan rumah berukuran lebih dari 100 meter persegi ke atas.
Bagi yang tinggal di apartemen, ukuran hunian bisa lebih kecil lagi. Ukuran apartemen Studio, bisa seukuran kamar pada rumah tapak, yakni 20 hingga 30 meter persegi. Bagian dalam apartemen studio mengusung konsep satu ruang yang sudah termasuk kamar tidur, kamar mandi, dan dapur yang biasanya tanpa sekat.
Ruang apartemen studio yang cukup kecil tersebut membuat para penghuninya membutuhkan ruang publik bersama. Hal inilah yang membuat para pengembang properti untuk membuat ruang publik bersama di bawah apartemen. Ruang publik selain sebagai tempat bersosialisasi dengan penghuni lainnya, juga bisa sebagai ruang tamu penghuni apartemen studio.
Keterbatasan lahan yang berdampak pada mengecilnya ukuran hunian secara tidak langung mengubah gaya hidup masyarakat. Tren pasar properti pun bergesar pada hunian berukuran kecil yang disekelilingnya dilengkapi dengan ruang publik berupa taman, lapangan olahraga dan tempat makan.
Aksesibilitas Hunian
Keterbatasan lahan dan semakin padatnya kawasan perkotaan membuat perkembangan kota bergeser ke daerah pinggiran. Daerah pinggiran kota tersebut bisa melebihi wilayah administratif kota dan masuk ke wilayah tetangga sehingga urban sprawl (penjalaran kota) tak terhindarkan.
Wilayah pinggiran kota menjadi pusat aktivitas baru bagi kaum urban, dari permukiman, perdagangan dan jasa, hingga industri. Hampir 65 persen masyarakat perkotaan memilih tinggal di pinggiran kota. Salah satu faktor yang mendorong pergerakan ke pinggiran kota adalah keinginan mendapatkan kehidupan yang alami, jauh dari polusi, serta nyaman dengan utilitas dan fasilitas yang terjamin.
Selain kenyamanan, lahan di pinggiran lebih luas dan murah sehingga ideal untuk membangun hunian yang nyaman. Namun, tinggal di pusat kota ternyata masih diminati oleh sekitar 35 persen masyarakat urban. Persoalan kemudahan menjangkau tempat kerja atau tempat aktivitas menjadi pertimbangan utama. Selain itu, jaminan mendapatkan sarana prasarana yang lengkap seperti kesehatan, pendidikan, komersial, lebih mudah di pusat kota dibandingkan di pinggiran kota.
Faktor itulah yang akhirnya membuat minat masyarakat Jabodetabek dalam memilih lokasi hunian mulai bergeser. Sebanyak 45 persen masyarakat Jabodetabek lebih memilih tinggal di pusat kota dibandingkan pinggiran kota. Meski porsinya masih kecil dibandingkan yang memilih tinggal di pinggiran, tapi tinggal di pusat Jakarta kembali diminati.
Bagi warga Jabodetabek, tinggal di pinggiran menjanjikan kehidupan yang lebih nyaman dengan lingkungan yang lebih segar dan kepadatan hunian yang rendah. Namun, akses transportasi baik jalan dan angkutan umum yang tidak mendukung membuat masyarakat membutuhkan waktu yang lebih lama, biaya transportasi yang lebih mahal, serta ekstra tenaga untuk menjangkau tempat kerja/aktivitas di pusat kota dari kawasan pinggiran.
Pergesaran cara pandang memilih properti tak terhindarkan, seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi digital. Desain dan lokasi properti tak lagi konvensional yang cenderung berukuran besar, bergaya arsitektur ala Eropa dengan pilar-pilar besar, hunian menapak tanah, hingga berlokasi di pinggiran kota.
Akses informasi dan transaksi jual beli properti pun dengan mudah bisa dilakukan melalui dunia maya, tanpa harus melihat dan bertemu langsung. Pelaku usaha industri properti pun harus terus berinovasi mengejar keinginan pasar supaya bisa melewati tahapan disrupsi yang telah mengguncang kemapanan semua sektor. Hingga akhirnya, peluang tersebut ditangkap oleh sejumlah pengembang properti untuk membangun hunian di pusat kota. (M. PUTERI ROSALINA & DEBORA LAKSMI (L06)/ LITBANG KOMPAS)