Tuntut Kenaikan Upah, Ribuan Buruh di Morowali Mogok Kerja
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
BUNGKU, KOMPAS — Buruh di PT Indonesia Morowali Industrial Park di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, menuntut kenaikan upah sektor industri tambang sebesar 20 persen dari upah minimum. Sejak kemarin hingga Jumat (25/1/2019) pagi, mereka mogok kerja agar tuntutan itu diakomodasi perusahaan.
Berdasarkan foto yang diterima Kompas pada Jumat, buruh yang mogok berkumpul dengan berdiri di salah satu lokasi yang agak lapang di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Mereka masih mengenakan pakaian kerja dan helm berwarna kuning.
Sekretaris Serikat Pekerja Industri Morowali Afdal menyatakan, jumlah buruh yang mogok ribuan orang. Aksi pada Kamis (24/1/2019) diikuti lebih banyak buruh daripada Jumat pagi. ”Aksi akan terus berlangsung, tetapi pagi ini istirahat menjelang shalat Jumat,” katanya saat dihubungi dari Palu, Jumat.
Afdal menuturkan, para buruh menuntut kenaikan upah minimum sektoral per kawasan (UMSK) 20 persen. Itu mengacu pada hasil kesepakatan Dewan Pengupahan Kabupaten Morowali pada 24 Desember 2018. ”Komponen utamanya survei kebutuhan hidup layak buruh yang dilakukan oleh serikat buruh dengan pemerintah daerah. Namun, kesepakatan itu tak diindahkan perusahaan,” ujarnya.
Negosiasi lagi
Ketaktaatan perusahaan ditunjukkan dengan dikirimnya keputusan berkeberatan atas kesepakatan itu kepada Pemerintah Provinsi Sulteng. Alasannya, PT IMIP tidak mampu membayar upah yang naik 20 persen itu. Atas keputusan keberatan itu, Pemerintah Provinsi Sulteng meminta semua pihak bernegosiasi lagi.
”Ini aneh karena kesepakatan sudah dibuat pada 24 Desember dengan berbagai pihak. Ada pemerintah daerah, ada perwakilan asosiasi pengusaha, ada utusan perusahaan,” katanya.
Upah minimum Kabupaten Morowali pada 2019 sebesar Rp 2.500.000. Dengan kenaikan UMSK 20 persen, upah buruh sektor industri tambang menjadi Rp 3.480.000.
Afdal menegaskan, pihaknya akan terus mogok setidaknya hingga seminggu ke depan untuk menuntut perusahaan menaati kesepakatan penetapan UMSK. Namun, kalau ada titik temu di tengah jalan, aksi tak dilanjutkan.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Bagian Humas PT IMIP Dedy Kurniawan membantah kesepakatan kenaikan UMSK 20 persen. ”Pertemuan itu memang ada dan hadir perwakilan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), utusan perusahaan, dan pemerintah sebagai mediator. Tetapi, kami bertahan di angka 11 persen dari kenaikan UMP yang 8 persen,” katanya.
Operasionalisasi perusahaan-perusahaan di dalam kawasan PT IMIP masih berjalan.
Kesepakatan yang dibuat pada 24 Desember, kata Dedy, tak ditandatangani perwakilan PT IMIP karena terjadi tanpa konfirmasi. Pihaknya memprotes Pemerintah Provinsi Sulteng karena kenaikan upah itu berdampak terhadap peningkatan biaya produksi.
Akibatnya akan ada efisiensi tenaga kerja dan menghentikan pembukaan lowongan kerja ke depan. ”Padahal, kami berniat menyerap tenaga kerja lokal sebanyak-banyaknya,” ujar Dedy.
Dedy mengatakan, operasionalisasi perusahaan-perusahaan di dalam kawasan PT IMIP masih berjalan. Namun, tetap ada pengaruh akibat aksi itu. Ia tak menjelaskan seperti apa pengaruh tersebut.
PT IMIP mengelola kawasan industri pertambangan. Di dalamnya perusahaan-perusahaan mengolah nikel sebagai mineral utama di Morowali menjadi barang setengah jadi sebelum diekspor. PT IMIP beroperasi sejak 2015. Tak hanya pekerja lokal, perusahaan-perusahaan di dalam PT IMIP juga mempekerjakan orang asing.