Zonder Lentera, Pynarello, dan Rap Isi Akhir Pekan
Oleh
Irene Sarwindaningrum/Agnes Rita Sulistyawaty
·3 menit baca
Pekan ini, warga Jakarta mempunyai beberapa pilihan pertunjukan yang tidak saja menghibur, namun juga memperluas wawasan. Ada lakon teater “Zonder Lentera” yang mengangkat karya sastra Melayu Tionghoa dan orkestra dari kelompok yang memberontak dari pakem.
Lakon “Zonder Lentera” atau tanpa lampu ini dipentaskan oleh Kelompok Pojok di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada akhir pekan ini, 26-27 Januari 2019. Pertunjukan di hari Sabtu dimulai pukul 19.30 sedangkan di hari Minggu pukul 16.00. “Biaya tiket masuk untuk kelas biasa Rp 100.000, kelas VIP Rp 200.000 dan VVIP Rp 300.000,” kata Haris Surahman yang menangani tiket di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Terbit pada 1931, Zonder Lentera merupakan karya berbalut komedi dari sastrawan Kwee Tek Hoay yang berlatar Jakarta tahun 1930-an. Kendati cukup banyak di masa 1930-an, sastra Melayu Tionghoa merupakan genre yang sekarang ini paling tak banyak dikenal di kesusastraan Indonesia.
Kisah Zonder Lentera berpusat pada Tan Tjo Lat, seorang wijkmeester atau kepala kampung yang rakus. Bersama kerakusannya, ia juga digambarkan mempunyai sederet sifat buruk lain seperti pemimpin yang kejam dan bengis hingga gemar cari muka pada atasan.
Kisah inilah asal humor yang terkenal tentang seorang tionghoa yang mengaku bernama fu yong hay, yang sebenarnya artinya nama masakan.
Kejatuhan Tan Tjo Lat berawal dari kisah yang sangat remeh. Dua anak muda yang naik sepeda tanpa lampu (zonder lentera) di malam hari. Keduanya dihentikan polisi karena bersepeda tanpa lampu di malam hari saat itu merupakan pelanggaran di Jakarta. Untuk menyelamatkan diri, kedua pemuda itu menggunakan nama palsu, yaitu nama obat-obatan dan nama masakan.
Serangkaian kesalahpahaman yang lucu dan menggelitik mengikuti keusilan dua pemuda itu yang akhirnya membuat Tan Tjo Lat dicopot dari jabatannya.
Produksi kedua Kelompok Pojok ini ini digawangi dua sutradara perempuan muda, Tamimi Rutjita dan Yasya Arifa. “Pesan-pesan yang disampaikan di naskah itu kami anggap positif untuk kondisi masyarakat saat ini. Jadi lewat ini, kami mencoba bersuara dengan karya ini,” kata Tamimi di media sosial Kelompok Pojok.
Tak kalah menarik, pusat kebudayaan Belanda Erasmus Huis menggelar konser dari Orkestra Pynarello di Museum Bank Indonesia, Sabtu (26/1/2019) pukul 16.00. Pertunjukan Pyrenello ini gratis tanpa pemesanan terlebih dahulu.
Kelompok orkestra asal Belanda ini disebut-sebut sebagai orkestra pemberontak karena mementaskan musik-musik klasik tanpa konduktor dan seringkali bahkan tanpa lembar musik.
Tanpa satu pemimpin tunggal, mementaskan simfoni klasik yang tersusun dari belasan pemusik tentunya merupakan sebuah tantangan. Para pemusik harus terus-menerus saling berkomunikasi di panggung sembari bermain, baik dengan lirikan mata atau saling menerjemahkan bahasa tubuh untuk mengkoordinasi musik mereka.
Karena kebereanian inilah, kelompok orkestra yang umumnya para pemusik muda itu disebut-sebut ingin pendobrak pakem tradisi musik klasik yang sudah ratusan tahun dikukuhi.
Masih soal musik. Kali ini pusat kebudayaan Amerika menggelar konser musik rap bertajuk Skool of Rap, Sabtu (26/1) pukul 19.00-20.30 di @america, Pacific Place lantai 3.
Konser akan menampilkan sejumlah penyanyi rap Indonesia yakni Iwa K, Saykoji, dan Sweetmartabak.
Dalam keterangan di situs @america, artis hip hop legendaris Indonesia ini dipilih untuk tampil dalam konser karena mereka membantu membawa budaya urban masyarakat Amerika ke Indonesia, selama lebih dari 20 tahun terakhir.
Bersama para artis yang tampil, pengunjung dijanjikan akan diajak untuk bernyanyi dan menari bersama alunan musik rap. Pengunjung yang tertarik bisa langsung datang karena acara ini terbuka untuk umum dan gratis, tanpa perlu mendaftar.