Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah punya andil besar mewujudkan perdamaian, baik di tingkat nasional maupun internasional.
SLEMAN, KOMPAS - Dua organisasi Islam di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, punya peran besar dalam mewujudkan perdamaian di Indonesia dan di lingkup internasional. Kiprah kedua organisasi itu dalam mengawal transisi demokrasi di Indonesia juga menunjukkan kepada dunia bahwa Islam bisa hidup berdampingan dengan demokrasi.
”Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) berkiprah dalam upaya-upaya bina damai di aras regional dan internasional,” kata Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca dalam Seminar Internasional ”Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara untuk Dunia”, Jumat (25/1/2019), di Yogyakarta.
Selain Najib, hadir dalam seminar tersebut antara lain Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Katib Aam Pengurus Besar (PB) NU Yahya Cholil Staquf, mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dosen Universitas Negeri Arizona, Amerika Serikat, Mark Woodward, dan Rektor UGM Panut Mulyono.
Najib mengatakan, di dunia internasional, NU dan Muhammadiyah telah memainkan peran untuk mendorong perdamaian di antara pihak-pihak yang berkonflik. Salah satu contoh, Muhammadiyah mewujudkan perdamaian antara Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro pada 2012. Muhammadiyah juga mendorong perdamaian antara Pemerintah Thailand dan kelompok Muslim di wilayah Pattani.
Sementara itu, NU lewat beberapa tokoh, seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Yahya Cholil Staquf, mendorong perdamaian Palestina-Israel.
Seperti halnya Muhammadiyah, NU juga menggelar sejumlah forum internasional untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian. Salah satunya, pertemuan ulama tiga negara pada Mei 2018 yang menghadirkan ulama dari Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia.
Pada saat yang sama, lanjut Najib, Muhammadiyah dan NU juga berperan dalam transisi dan konsolidasi demokrasi sehingga Indonesia menjadi contoh bagaimana Islam bisa berjalan berdampingan dengan demokrasi. Kedua organisasi itu juga berperan penting menghadirkan wajah Islam yang damai dan ramah.
Nobel
Melihat besarnya peran dan kontribusi Muhammadiyah dan NU tersebut, Panut Mulyono mengatakan, UGM mendukung dan mendorong kedua organisasi itu jadi penerima Nobel Perdamaian 2019. ”UGM akan menominasikan Muhammadiyah dan NU. Ini untuk mengapresiasi peran kemanusiaan dua organisasi itu,” katanya.
Syafii Maarif menyampaikan terima kasih atas inisiatif UGM tersebut. Ia menilai pengusulan itu punya alasan historis kuat karena Muhammadiyah dan NU banyak berperan dalam perdamaian global.
Yahya Cholil Staquf mengatakan, Muhammadiyah dan NU kini menjelma sebagai gerakan akar rumput yang terus-menerus merespons persoalan masyarakat. Oleh karena itu, kedua organisasi itu siap menghadapi berbagai perubahan di dunia.
Sementara itu, menurut Ramos Horta, berkat peran Muhammadiyah dan NU, Indonesia berhasil mengonsolidasikan demokrasi dan mengembangkan iklim yang menghargai kemajemukan dan toleransi. Kondisi ini membuat masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan agama bisa hidup berdampingan dengan damai.