JAKARTA, KOMPAS -- Pengungkapan fasilitas produksi kosmetik palsu di Jakarta Barat senilai sekitar Rp 30 miliar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada satu sisi menunjukkan berjalannya penegakan hukum pidana obat dan makanan. Namun, di sisi lain, memunculkan pertanyaan soal efektivitas penindakan untuk menimbulkan efek jera.
Selama 2018 lalu, setidaknya tercatat lima penggerebekan BPOM terhadap fasilitas produksi dan penyimpanan produk kosmetik ilegal di daerah Merak, Tangerang, dan Jakarta. Produk ilegal yang disita memiliki nilai keekonomian miliaran rupiah per penggerebekan. Secara total, nilai keekonomian produk kosmetik ilegal yang disita BPOM sepanjang 2018 yaitu Rp 128 miliar.
Dari data, BPOM selama 2015 menangani 211 perkara tindak pidana, dengan 18 di antaranya mendapat putusan pengadilan. Putusan tertinggi yaitu pidana penjara 2,5 tahun untuk pengedar kosmetik tanpa izin edar di Serang, Banten, serta penjara 4 bulan 15 hari dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan untuk pengedar obat tradisional ilegal di Makassar, Sulawesi Selatan.
Sanksi itu masih amat jauh dari hukuman maksimal yang diamanatkan dalam UU 36/2009. Pidana penjara 2,5 tahun, misalnya, hanya 16 persen dari hukuman maksimal 15 tahun penjara sesuai Pasal 197.
Terkait isu efek jera, salah satu strategi BPOM adalah memasukkan anggota instansi penegakan hukum lain ke dalam struktur BPOM di Kedeputian Penindakan. Direktur Pengawasan BPOM berasal dari kepolisian, Brigadir Jenderal Rusli Hedyaman. Direktur Penyidikan dari Kejaksaan Agung, Teguh. Adapun Direktur Intelijen dari Badan Intelijen Negara, Wildan Sagi.
Menurut Hendri, kemajuan dari strategi ini sudah terlihat. Ia mencontohkan, hingga tahun 2017, penahanan tersangka sulit dilakukan. Hanya kurang dari lima tersangka dari seluruh Indonesia yang ditahan sepanjang 2017. Adapun pada 2018, lebih dari 10 orang ditahan melalui koordinasi Criminal Justice System dalam pengawasan obat dan makanan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, mengapresiasi pengungkapan fasilitas produksi dan penyimpanan produk kosmetik ilegal di Jakarta Barat oleh BPOM. Itu menunjukkan, BPOM mencegah produk ilegal beredar sejak di hulu.
“Namun, seringnya yang dilakukan BPOM mengalami antiklimaks pada proses penyidikan dan akhirnya putusan hakim sangat ringan,” ucap Tulus, Jumat kemarin. Inilah pemicu minimnya efek jera dari penegakan hukum pengawasan obat dan makanan.
Ia berharap, sinergi yang dibangun BPOM dengan lembaga penegakan hukum lain, terutama dengan Polri, membuat tuntutan yang diajukan terhadap terdakwa perkara pidana obat dan makanan tinggi saat di pengadilan, sehingga putusan hakim juga akan tinggi.