Puputan Pasifik 4.0
Perang dagang antara AS dan China saat ini tak bisa dilepaskan dari persaingan kedua negara dalam industri teknologi semikonduktor. AS merasa terancam oleh ambisi China.
Perang dagang antara AS dan China saat ini tak bisa dilepaskan dari persaingan kedua negara dalam industri teknologi semikonduktor. AS merasa terancam oleh ambisi China.
Kapten Davy Jones pada film Pirates of Caribbeans barangkali karakter fiksi paling sesuai untuk menggambarkan China: rentan walau berkekuatan besar. Seperti pada tokoh Jones yang jantungnya dikuasai pihak lawan di film itu, begitu juga halnya China.
Presiden China Xi Jinping menyebut cip atau keping pengolah informasi komputer seperti jantung pada manusia. "Tidak peduli berapa pun besarnya seseorang, dia tidak akan kuat tanpa jantung yang kuat," ujarnya dalam lawatan ke salah satu pusat pengembangan teknologi China di Provinsi Hubei, April 2018.
Xi menyadari, informasi dan data adalah minyak pada era kini. Seperti minyak yang butuh mesin sebagai tempat pengolahan menjadi energi, informasi dan data membutuhkan cip atau keping semikonduktor sebagai tempat pengolahan agar bermanfaat. Ponsel sederhana sampai pesawat paling canggih membutuhkan cip sebagai jantung sekaligus otak.
Selama ini, China amat tergantung pada semikonduktor impor. Hal itu tergambar dari neraca perdagangan yang menunjukkan Beijing membayar 270 miliar dollar AS untuk impor semikonduktor pada 2017. Sebaliknya, China hanya menerima tidak sampai 20 miliar dollar AS dari ekspor cip.
Ketergantungan juga karena fakta industri cip masa kini. ASML Belanda menjadi satu-satunya penyedia mesin cetak berbasis ultraviolet yang dibutuhkan dalam produksi prosesor 7 nanometer, standar utama masa kini. Di Amerika Serikat dan Jepang, Lam Research, Applied Materials, dan Tokyo Electron mendominasi pasar perangkat yang bisa memasukkan miliaran transistor dan komponen lain dalam satu cip. Perusahaan AS lainnya, KLA-Tencor, menyediakan teknologi penguji dan pemantau kualitas produksi cip.
"Anda tidak bisa membuat pabrik semikonduktor tanpa menggunakan perangkat dari produsen utama, yang tidak satu pun dari China. Berperang tanpa senjata akan kalah, dan mereka (China) tidak punya senjata," kata Brett Simpson, peneliti lembaga kajian investasi Arete Research yang berbasis di London, pada koran Financial Times.
Presiden China Xi Jinping menyebut cip atau keping pengolah informasi komputer seperti jantung pada manusia.
Dengan tiga perusahaan penyedia perangkat terpenting dalam produksi cip (Lam Research, Applied Materials, dan KLA-Tencor), AS menjadi pemimpin industri semikonduktor yang secara global bernilai 412 miliar dollar AS. Selain tiga perusahaan AS itu, ada tiga perusahaan lain yang membuat hampir semua perangkat terpenting yang dalam produksi cip. Larangan ekspor kepada perusahaan-perusahaan itu, seperti yang diupayakan sejumlah anggota Kongres AS bagi perusahaan-perusahaan AS ke China, berarti menutup peluang produksi cip di negara lain.
Baca juga: AS Larang Penjualan Keolin ke China
Perkembangan teknologi membuat ketergantungan pada produsen utama itu nyaris mustahil diputus. Secara berkala, kinerja cip meningkat dan untuk membuatnya dibutuhkan perangkat mutakhir pula. Perangkat-perangkat itu hanya bisa didapat dari perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Eropa.
Asosiasi perusahaan industri semikonduktor global, SEMI, menyebut China membutuhkan teknologi asing untuk menumbuhkan industri cip domestik. "Kita harus menerima fakta ada kesenjangan antara industri semikonduktor domestik dan internasional (yang sudah) sangat maju. Maka, kerja sama internasional adalah kunci bagi perkembangan industri ini," kata Lung Chu, Presiden SEMI China.
Pendapat Lung terbukti pada dua produsen cip di Shanghai, AMEC dan Shanghai Micro Electronics Equipment (SMEE). AMEC dan SMEE hanya bisa membuat prosesor 28 nanometer (nm). Perusahaan-perusahaan China hanya bisa melakukan hal yang sudah dirampungkan ASML Belanda pada 1993.
Dengan kemampuan sekarang, produsen elektronika China, termasuk raksasa telekomunikasi seperti Huawei dan ZTE, membutuhkan cip impor. Sebab, ponsel-ponsel pintar masa kini yang berspesifikasi paling rendah sekalipun membutuhkan cip pada skala 14 nm hingga 16 nm. China baru bisa membuat di skala 28 nm.
Upaya Beijing
China melakukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi itu. Xi menjanjikan alokasi hingga 150 miliar dollar AS untuk pengembangan cip dalam beberapa tahun ke depan. Pada Juli 2018, pimpinan 27 perusahaan dan lembaga riset teknologi utama China membentuk aliansi untuk mewujudkan kemandirian pada sektor cip. Selain penting, ada manfaat ekonomi dari keunggulan itu. China ingin industri semikonduktor dan cip menyumbang 300 miliar dollar AS per tahun mulai 2030.
Sebelum aliansi itu dibentuk, berbagai perusahaan dan lembaga penelitian China mengumumkan proyek miliaran dollar AS untuk pengembangan cip. "China bergantung pada (pasokan) impor cip berkinerja tinggi. Akan tetapi, kondisi itu bisa berubah di era kecerdasan buatan," kata Robin Li, CEO Baidu, salah satu perusahaan teknologi besar di China dan serius mengembangkan cip.
China bergantung pada (pasokan) impor cip berkinerja tinggi. Akan tetapi, kondisi itu bisa berubah di era kecerdasan buatan.
Selain aliansi itu, sudah bertahun-tahun China mewajibkan investor asing mentransfer teknologi. Tekanan itu membuat perusahaan-perusahaan itu meminta perlindungan ke pemerintah negara asal mereka yang tidak mau negara lain menguasai teknologi tersebut.
Persaingan soal teknologi menjadi salah satu penyebab perang dagang AS-China yang akhirnya meletus pada 2018. Washington menyebut upaya Beijing mengakses teknologi AS menjadi ancaman nyata bagi masa depan ekonomi AS. Pertimbangan itu menjadi salah satu pemicu utama AS menerapkan tarif bea masuk pada impor produk senilai 250 miliar dollar AS dari China. AS mengancam mengenakan tarif lebih besar jika China tidak mengubah kebijakan industrinya. Beijing membalas dengan kebijakan serupa pada impor AS. Saling menerapkan tarif impor itulah yang kini dikenal sebagai perang dagang.
Baca juga:
Meski baru ramai pada 2018, yuda atau perang Washington-Beijing pada ranah cip sudah terjadi bertahun-tahun. Pada 2015, Washington melarang Intel Corp menjual cip mutakhir pada lembaga China yang akan membuat komputer super.
Pada 2017, laporan Gedung Putih dengan jelas menyebut keunggulan teknologi semikonduktor amat penting bagi sistem pertahanan dan kekuatan militer AS. Selanjutnya pada 2018, Washington melarang perusahaan-perusahaan AS menjual perangkat keras dan perangkat lunak mutakhir kepada Fujian Jinhua Integrated Circuit Co Ltd, produsen semikonduktor di China.
Perang dagang 2018 adalah awal perlombaan senjata era baru antara AS-China.
Perusahaan telekomunikasi China, ZTE, nyaris bangkrut gara-gara terkena larangan yang sama. Sebab, larangan itu berarti ZTE harus menghentikan sebagian besar produksi karena tidak ada bahan baku. Kebangkrutan ZTE bisa dihindarkan setelah Presiden AS Donald Trump setuju ZTE didenda dalam jumlah besar. Denda itu merupakan pengganti larangan membeli produk teknologi mutakhir AS.
Beijing tentu tidak diam saja. Sebagai konsumen 38 persen dari pasar cip global, China berhak dimintai pendapat soal aksi produsen cip. China menggunakan posisi itu untuk menolak pembelian produsen semikonduktor asal Belanda, NXP Semiconductors N.V, oleh perusahaan semikonduktor AS, Qualcomm. China juga memeriksa produsen semikonduktor AS lainnya, Micron Technology, Inc., dan produsen dari sejumlah negara lain.
Kepala Strategi Pasar pada Bank of Amerika Merrill Lynch, Michael Hartnett, menyebut perang dagang 2018 adalah awal perlombaan senjata era baru antara AS-China. Perlombaan untuk mencapai keunggulan teknologi pada komputer kuantum, kecerdasan buatan, pesawat tempur hipersonik, dan keamanan dunia maya. Semua terkait pada penguasaan teknologi semikonduktor.
Pentingnya penguasaan teknologi produksi semikonduktor membuat Beijing-Washington melakoni hal yang disampaikan sejarawan Yunani Thucydides, ribuan tahun lalu. Ia menyebut, perang tidak terhindarkan bila ada kekuatan baru yang sedang bangkit, sementara kekuatan lama masih bertahan.
Beijing-Washington mungkin masih jauh dari saling melepaskan roket atau bahkan sebutir peluru. Walakin, mereka sudah dalam tahapan perang penentuan atau—dalam bahasa Bali—puputan di ranah teknologi. Jika AS-Jepang saling mengebom dalam Perang Pasifik hampir 80 tahun silam, Beijing-Washington adu gesit dalam Puputan Pasifik masa kini. Karena palagannya adalah teknologi, yuda AS-China saat ini bisa diistilahkan dengan Puputan Pasifik 4.0.
(AFP/REUTERS)