Angkot dan Ojek Daring, Ganjalan bagi Lalu Lintas Margonda Raya
Nurul (21) tengah asyik dengan ponsel pintarnya di Halte Pondok Cina, Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, Jumat (25/1/2019) sore. Bukan bus atau angkutan kota (angkot) yang sedang ia tunggu, melainkan menunggu ojek daring menjemputnya.
”Saya sedang menunggu ojek daring,” kata warga Pancoran Mas, Depok, itu.
Kemacetan di Jalan Margonda Raya seperti tak ada habisnya. Hingga 2015, angkot menjadi salah satu biang keladi kemacetan di jalan itu. Mulai dari menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya hingga perilaku sopir yang kerap ngetem atau nge-time (menunggu angkutannya dipenuhi penumpang) seenaknya di bahu hingga badan jalan.
Kini, sejak ojek daring beroperasi secara luas di Depok, kemacetan Jalan Margonda Raya tak hanya disebabkan ulah sopir angkot. Namun, kemacetan di ruas jalan itu juga diperparah oleh ulah sopir-sopir ojek daring yang berhenti dan memenuhi bahu jalan untuk menjemput penumpang.
Dibandingkan beberapa tahun lalu, penumpang angkot di Depok saat ini jauh berkurang. Banyak dari mereka yang kini beralih ke ojek daring. Suasana Halte Pondok Cina pada Jumat sore kemarin cukup memberikan gambaran perubahan itu. Di halte itu, Nurul bukan satu-satunya orang yang menunggu jemputan ojek daring, melainkan ada 3 orang lainnya.
Bagi sejumlah warga Depok, termasuk Nurul, ojek daring menjadi pilihan untuk menghindari kemacetan dan pelayanan angkutan umum yang tidak memadai. Angkot mulai ditinggalkan karena mudah terjebak dalam kemacetan dan kadang juga memicu kemacetan itu sendiri.
Nurul mengaku, sudah dua tahun terakhir memilih ojek daring untuk bepergian dari rumah ke kampus. Sebelumnya, dia lebih sering menumpang angkot. Namun, karena lalu lintas semakin padat dan angkot sering mengetem, dia beralih ke ojek daring.
”Saya naik angkot kalau enggak lagi buru-buru saja. Kalau kelas pagi, biasanya naik Grab atau Go-Jek (penyedia layanan ojek daring). Jalanan sering macet,” ujarnya.
Dwikarti (50) yang ditemui tak jauh dari halte itu juga memilih ojek daring sebagai alat transportasi untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari dari rumahnya di Sukmajaya ke Stasiun Pondok Cina. Kemacetan menjadi salah satu alasan bagi Dwikarti untuk lebih memilih ojek daring dibandingkan angkot. Selain itu, di sekitar rumahnya juga tidak ada angkot yang langsung menuju ke stasiun.
“Bisa terjebak macet banget kalau naik angkot. Lagi pula dari rumah saya nggak ada (angkot) yang langsung ke stasiun. Saya naik angkot kalau lagi hujan saja,” ujarnya.
Tidak hanya di Halte Pondok Cina, kondisi serupa juga dijumpai di Halte Balai Kota dan jembatan penyeberangan orang depan (JPO) depan The Margo Hotel Depok, Jalan Margonda Raya. Sejumlah warga berdiri dan duduk menunggu ojek daring di sekitar lokasi itu.
Asyahrani (24), warga Beji, Depok, mengaku, memilih ojek daring atau diantar-jemput suaminya dengan sepeda motor untuk berangkat kerja. Perempuan yang akrab disapa Rani ini mengaku selain karena angkot mudah terjebak macet dan sering ngetem, ia juga memiliki pengalaman buruk dengan angkot.
”Dulu saya pernah kecopetan di angkot. Makanya sekarang jadi malas naik angkot. Sejak setahun terakhir saya lebih memilih naik ojek daring atau diantar suami,” ujarnya ketika ditemui di JPO, depan The Margo Hotel Depok.
Beralihnya pengguna angkutan umum itu dirasakan pengemudi angkot. Seorang pengemudi angkot jurusan Depok-Kampung Rambutan yang meminta dipanggil Asep (54), mengakui, pendapatannya jauh berkurang sejak hadirnya ojek daring di Depok pada 2015.
Menurut Asep, sebelum munculnya ojek daring, tak sulit baginya mendapatkan penumpang. Setidaknya, setiap hari (pagi hingga malam), penghasilan bersih Asep bisa mencapai Rp 200.000. Sekarang, paling banyak dia hanya bisa memperoleh Rp 50.000 per hari.
”Orang menunggu di halte atau di pinggir jalan. Kalau main hape, bukan hendak naik angkot, melainkan menunggu ojek daring,” katanya.
Meluasnya ojek daring ini, menurut Asep, menyebabkan beberapa temannya meninggalkan pekerjaan sebagai sopir angkot. Salah satu sebabnya karena pendapatan sebagai sopir angkot semakin berkurang akibat banyak penumpang yang beralih ke ojek daring.
Namun, Asep memilih bertahan sebagai sopir angkot karena tidak ada pekerjaan lain, sedangkan dia masih menjadi tulang punggung keluarga. ”Biar dapat penumpang, mau enggak mau harus ngetem. Seringnya ngetem dekat Stasiun Pondok Cina. Harus lihat situasi juga karena polisi sering menguber-uber (merazia sopir angkot yang ngetem),” ujarnya.
Picu kemacetan
Pilihan menggunakan ojek daring untuk menghindari kemacetan memang cukup efektif bagi sebagian penumpang. Sepeda motor bisa menyelip di antara mobil-mobil di kala macet. Namun, ojek daring tidak sepenuhnya menjadi solusi karena tak jarang juga keberadaannya turut memperparah kemacetan, sebagaimana halnya angkot.
Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resort Kota Depok Komisaris Polisi Sutomo, ketika dihubungi Minggu (27/1/2019), mengatakan, selain karena sempitnya jalan dan padatnya pengguna kendaraan, kemacetan juga dipicu angkot dan ojek daring yang berhenti atau ngetem di pinggir jalan.
”Angkot ngetem untuk mencari penumpang, sedangkan ojek daring menunggu penumpang di pinggir jalan karena tidak punya pangkalan,” katanya.
Beberapa titik yang paling sering jadi tempat angkot dan angkutan daring menunggu penumpang antara lain di Jalan Margonda Raya dekat Stasiun Pondok Cina dan Jalan Kartini dekat Stasiun Depok Lama.
”Setiap hari kami menurunkan tim pengurai kemacetan untuk menghalau angkot dan ojek daring yang ngetem di pinggir jalan,” ujar Sutomo.
Angkutan umum
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, berpendapat, tidak adanya angkutan umum yang memadai memicu suburnya angkutan daring. ”Padahal, jika dibandingkan dengan angkutan umum, tarif angkutan daring relatif lebih mahal,” ujarnya.
Djoko melanjutkan, solusi untuk mengatasi kemacetan di Depok adalah dengan menyediakan angkutan umum yang memadai. Menurut dia, angkot tidak menarik lagi bagi warga sebagai angkutan umum. Kapasitas dan bentuknya yang kecil ditambah kebiasaan mengetem membuat penumpang tidak nyaman.
”Sudah saatnya angkot digantikan dengan bus yang menarik, nyaman, dan menampung banyak orang. Angkot bisa dioperasikan di kawasan pinggiran, yang penggunanya tidak terlalu banyak, tetapi membutuhkan. Angkot juga bisa jadi pengumpan bagi bus (di kawasan kota),” katanya. (YOLA SASTRA)
https://youtu.be/QlsDexDwHjM