JAKARTA, KOMPAS — Banjir di sejumlah daerah yang merendam hingga 20.628 hektar lahan sawah dinilai oleh sejumlah kalangan tidak terlalu berpengaruh terhadap stok dan harga beras. Namun, jika intensitas hujan tetap tinggi, pemerintah perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya penurunan produksi dan gagal panen.
”Kalau pada bulan Februari 2019 curah hujan tetap tinggi dan genangannya lama surut, hasil panen produknya menjadi basah, bukan gagal panen. Namun, jika saat panen masih tetap basah, harga beli gabah ke petani akan menjadi rendah,” ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin saat dihubungi Kompas, Minggu (27/1/2019).
Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Maman Suherman mengatakan, luas total lahan sawah yang terkena banjir seluas 20.628 hektar. Hingga saat ini, di 3.867 ha lahan sawah sudah surut airnya.
Sawah yang terkena banjir tersebar di Sulawesi Selatan 16.795 ha, Jawa Tengah 3.415 ha, Kalimantan Tengah 148 ha, Jawa Barat 138 ha, Jawa Timur 129 ha, dan Aceh 3 ha. Dari total luas sawah yang terkena banjir, sekitar 779 ha gagal panen atau puso. (Kompas.id, 26 Januari 2019)
Bustanul mengatakan, sejauh ini tidak ada kejatuhan harga gabah di tingkat petani. Namun, pemerintah harus segera memantau harga gabah hingga beras setidaknya di dua atau tiga lokasi, mulai dari transaksi gabah dari petani, harga setelah penggilingan, sampai harga jual eceran di pasaran.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras, untuk beras di wilayah Jawa, Sulawesi, Lampung, dan Sumatera Selatan, HET beras medium Rp 9.450 per kilogram. Sementara untuk wilayah Kalimantan dan Provinsi Aceh, HET beras medium Rp 9.950 per kg.
Pusat informasi harga pangan strategis nasional (PIHPS) mencatat, harga beras Medium II di Sulawesi Selatan Rp 10.000 per kg, Kalimantan Tengah Rp 13.400 per kg, Jawa Barat Rp 11.150 per kg, Jawa Timur 10.450 per kg, dan Aceh Rp 10.500 per kg. Secara nasional, harga beras Medium II Rp 11.850 per kg.
Sementara dilihat dari Infopanganjakarta.go.id, harga beras IR I (IR 64) Rp 11.588 per kg, IR II (IR 64) Rp 10.711 per kg, dan IR III (IR 64) Rp 9.409 per kg. Dalam seminggu terakhir, meski harga beras masih berada di atas HET, tetapi relatif menurun.
Lebih lanjut, Bustanul menyampaikan, musim panen raya diperkirakan akan terjadi pada Maret dan mencapai puncak di April 2019. Melihat keadaan saat ini, harga beras akan tetap stabil tinggi. Selain itu, guna mengantisipasi produk basah, pemerintah harus segera merealisasikan bantuan mesin pengering kepada para petani.
”Tahun lalu cuma beberapa petani yang diberikan bantuan mesin pengering, sekarang perlu direalisasikan sesuai kebutuhan di lapangan. Bantuan ini juga memberi kesempatan kepada para petani untuk belajar cara mengaplikasikan teknologi. Jangan sampai petani kita terkena dampak terlalu besar,” kata Bustanul.
Selain itu, Bustanul juga menyampaikan untuk segera mengevaluasi proyek percontohan mengenai asuransi pertanian yang diterapkan tahun 2018. Apabila asuransi pertanian memang dapat menolong para petani, cakupan wilayahnya harus diperluas.
”Tahun lalu cakupannya masih di bawah 20 persen. Harapannya tahun ini, setidaknya asuransi pertanian itu bisa menjangkau lebih luas. Sebab, asuransi pertanian ini mampu mengantisipasi kerugian apabila petani gagal panen. Apabila kerugian di atas 75 persen, asuransi pertanianlah yang akan mengganti kerugiannya,” kata Bustanul.
Varietas tahan banjir
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan, hujan ekstrem dengan curah hujan lebih dari 100 milimeter per detik memang berpotensi membuat kerusakan besar, termasuk tanaman padi. ”Normalnya kan curah hujan itu 20-30 mm. Kalau kejadian seperti di Sulawesi Selatan kemarin meluas ke banyak daerah apalagi yang menjadi sentra produksi, potensi kerusakan besar sangat mungkin terjadi,” katanya.
Namun, di lain sisi, agar petani tidak terlalu menderita saat terkena banjir, petani harus didorong untuk menanam varietas-varietas padi yang tahan banjir. Misalnya dengan menanam varietas Intani yang dapat tahan dalam genangan air selama 14 hari.
”Jadi, kalau pada musim hujan wilayah itu berpotensi banjir dan dari catatan tahun-tahun sebelumnya itu ada, petani didorong untuk menanam sesuai wilayahnya agar peluang gagal panen mengecil,” ujar Khudori.
Khudori menilai, banjir yang terjadi di beberapa wilayah belum semuanya meluas, terutama di sentra produksi yang selama ini jadi produsen utama padi. Menurut dia, kalau melihat catatan para pendamping petani dari Institut Pertanian Bogor selama tiga tahun terakhir, gagal panen dari banjir tidak sebesar yang disebabkan oleh hama wereng dan virus kerdil.
”Virus kerdil ini dialami oleh para petani di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian wilayah Jawa Timur, termasuk Subang, pantura, dan sekitarnya. Jika ditarik lebih jauh, virus kerdil ini baru kita alami dan dampak kerusakannya besar,” kata Khudori. (SHARON PATRICIA)