Doa Seniman bagi Negeri
Ekspresi kesenian dalam beragam bentuk dari berbagai latar kultural tersampaikan dalam perhelatan Umbul Donga Nusantara di Solo, 25 dan 26 Januari 2019. Di situ, ada doa dan harapan bagi tata kehidupan yang beradab dan berbudaya di negeri ini.
”Kami akan berdoa dengan bunyi-bunyian,” kata Gondrong Gunarto yang bersama kelompok musik Ghost Gamelan tampil dalam perhelatan yang digelar di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, tersebut.
Dan, jreng…, musik Gunarto dalam kelompok Ghost Gamelan menunjukkan keluasan pergaulan budaya tanpa sekat kecurigaan. Jika dia menggunakan unsur gamelan, maka itu adalah gamelan yang telah mengembara, berdialog dengan bunyi-bunyian dari latar sejarah yang berbeda, tanpa dikotomi apa pun. Gamelan, gitar dan bas elektrik berpadu mencari keharmonisan bunyi.
Syair dibawakan dalam tiga bahasa, yaitu Inggris, Indonesia dan Jawa: ”Pernah kukuasai/ Namun tak terkendali/ Kesalahan kebenaran bodoh/ Sempurnakan takdirku// Sekarang kuterjatuh/ aku tersungkur/ Dalam tenggelam swara…”
Penampil lain, I Nyoman Cahya, seniman asal Bali yang puluhan tahun tumbuh di Solo dengan kelompok karawitan dan tarinya, menghaturkan tari Sesaji. Kidung dan bunga-bunga merah, kuning, putih ditabur para penari sebagai bentuk puja puji dan rasa syukur atas anugerah berupa, kata Cahya, perangkat.
”Perangkat sebagai manusia yang mampu menolong diri sendiri,” kata Cahya. Maksudnya, manusia dengan cipta, karya, dan karsa, yang diwujudkan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan yang baik. Ia menambahkan, ”Dan tenanan, kesungguh-sungguhan.”
Menarik menyimak karawitan Bali dari Nyoman Cahya yang secara halus ”tersusupi” rasa Jawa. ”Mungkin karena saya puluhan tahun di Solo. Ini konsep Nusantara-nya Pak Gendhon,” kata Cahya yang pada era 1970-an berolah seni dalam lingkungan pergaulan Sudiono ”Gendhon” Humardani, budayawan yang ikut merintis berdirinya Pusat Kesenian Jawa Tengah awal 1970-an.
Menarik pula melihat Solo menjadi ruang pergaulan, bahkan juga ruang tumbuh bagi seniman dari berbagai pelosok negeri. Tersebutlah, antara lain, dari Jailolo, Halmahera Barat, dengan tari Soya-Soya. Dan seniman dari Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, dengan tari Likurai. Kesenian menjadi wadah pergaulan antarmanusia dengan cara yang indah dan dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
Meruwat Nusantara
Pada hari pertama Umbul Donga dilakukan ruwatan, yang merupakan upacara dalam tradisi Jawa untuk menata keseimbangan kehidupan lahir, batin. Ruwatan dilakukan dengan pergelaran wayang kulit oleh dalang Ki Manteb Sudarsono dengan lakon ”Tundung Kala” atau mengusir hal-hal buruk.
Harapan akan keselamatan juga disampaikan dalam penutupan di mana sejumlah seniman dari beragam disiplin seni, datang dari sejumlah daerah, mengucap doa dan harapan dengan cara masing-masing. Termasuk lewat lantunan tembang pesinden, komposer Peni Candrarini.
Pada penutupan itu terdengar lantunan tembang ”Ono Kidung Rumeksa ing Wengi”, kidung tolak bala yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga.
Syair awalnya sebagai berikut: Ana kidung rumekso ing wengi/ Teguh hayu luputa ing lara/ Luputa bilahi kabeh... Ada kidung mengalun tengah malam/ Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit/ Terbebas dari segala petaka
Kata umbul dalam Umbul Donga oleh Suprapto Suryodarmo diartikan sebagai mata air untuk keseimbangan hidup yang terus-menerus mengalir. Umbul Donga Nusantara diawali dengan arak-arakan para seniman menuju Pendopo Ageng Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Kamis (24/1/2019) malam. Mereka membawa sesaji tumpeng nasi kuning, buah-buahan, serta pisang dan singkong rebus yang diwadahi dalam tiga tampah.
Prosesi dilanjutkan dengan pergelaran tari massal Umbul Donga Nusantara. Ini merupakan paduan tari dari berbagai daerah, seperti Solo, Bali, Kalimantan, Aceh, yang dirangkai menjadi satu kesatuan. Tari dari setiap daerah itu tetap ditampilkan sesuai dengan karakter khasnya masing-masing.
Pada bagian akhir tampil belasan penari berkostum raksasa yang melompat ke sana-kemari membikin gaduh. Gerombolan raksasa itu menggambarkan kekuatan destruktif yang ingin merusak harmoni persaudaraan. Namun, mereka luluh oleh kebaikan dan keindahan.
”Pergelaran tari Umbul Donga Nusantara tadi menggambarkan sebuah rajutan Nusantara. Di dalam rajutan itu ada nilai keindahan seni dan sekaligus doa. Kami harapkan rajutan itu menumbuhkan kohesi masyarakat yang lebih baik,” tutur budayawan Suprapto Suryodarmo yang tampil pada perhelatan tersebut.
Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan dalam orasi budaya setelah prosesi Umbul Donga Nusantara menyebutkan tujuh agenda strategis kebudayaan seperti diamanatkan Kongres Kebudayaan 2018. Salah satunya adalah menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif. Agenda strategis yang lain adalah melindungi dan mengembangkan nilai ekspresi dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.
”Umbul Donga ini contoh nyata, bagaimana memberikan ruang ekspresi keragaman budaya dari Aceh, Kalimantan, Jawa, Bali yang berkumpul di sini dengan tidak menghilangkan kekhasannya masing-maisng,” kata Restu.
Sineas Garin Nugroho dalam orasi budaya berjudul ”Meruwat Nusantara” yang dibacakan sejumlah seniman mengatakan, meruwat Nusantara adalah menghidupkan toleransi sebagai dasar hidup keberagaman.