JAKARTA, KOMPAS — Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal DI Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, berharap dukungan Kiai Ma’ruf Amin dalam menghadapi sengketa kepemimpinan DPD, yang saat ini dipegang oleh Oesman Sapta Odang. Dukungan Ma’ruf dianggap bernilai strategis karena ia adalah calon wakil presiden yang diusung oleh partai pimpinan Oesman, Partai Hanura.
Dengan posisi tersebut, Ma’ruf diharapkan oleh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas untuk dapat memberikan pemahaman kepada OSO, sapaan akrab Oesman Sapta Odang, terkait sengketa kepemimpinan itu.
”Saya harap begitu tadi. Beliau juga mengatakan bahwa paling tidak beliau memahami dan akan memberikan pemahaman sesuai apa yang telah kami sampaikan,” kata Hemas seusai pertemuan tertutup dengan Ma’ruf pada Minggu (27/1/2019) sore di Jakarta.
Hemas mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut ia juga menjelaskan duduk perkara dualisme kepemimpinan yang terjadi di DPD.
”Ya, sebetulnya dengan (Ma’ruf) sebagai tokoh nasional, kami ingin sekali beliau mendukung kami dalam upaya membenarkan apa yang terjadi saat ini,” kata Hemas.
Hemas mengunjungi kediaman Ma’ruf di Menteng, Jakarta Pusat, dengan didampingi oleh anggota staf dan kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin. Pertemuan antara Hemas dan Ma’ruf berlangsung selama sekitar satu jam dan tertutup bagi pers.
Setelah pertemuan ini, hingga pukul 20.00, Ma’ruf tidak bersedia menemui wartawan.
Sengketa kepemimpinan DPD ini telah berjalan hampir dua tahun lamanya. Persoalan ini berawal pada adanya Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 yang salah satunya mengatur masa jabatan jajaran pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Peraturan ini pun sebetulnya telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung pada 30 Maret 2017. Namun, beberapa hari kemudian, sebagian anggota DPD tetap menjalankan pemilihan pimpinan DPD yang berakhir dengan penetapan Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis sebagai pimpinan. Ketiga orang ini menggantikan M Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad.
Polemik ini pun sudah pernah diadukan oleh Hemas kepada Presiden Joko Widodo pada awal Januari 2019. Seusai pertemuan tersebut, Hemas dan kuasa hukumnya pun langsung mengajukan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Sengketa ini didaftarkan dengan nomor registrasi 1/SKLN-XVII/2019.
Hingga saat ini, sidang sudah berjalan sebanyak satu kali, yakni pada Senin (21/1/2019), dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang pertama. Irman mengatakan, dalam sidang tersebut, pihaknya diminta untuk melakukan perbaikan berkas permohonan.
Salah satu permintaan adalah melampirkan contoh perbandingan kasus yang serupa di negara lain. ”Kami menemukan bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pernah memutuskan sengketa anggota dengan ketua majelis nasional. Di Jerman dan Thailand pun, pengadilan konstitusinya berhasil menyelesaikan kasus yang mirip ketika pengadilan lain tidak bisa menyelesaikan,” kata Irman.
Irman mengatakan pihaknya akan memasukkan perbaikan permohonan ke MK pada Senin (28/1/2019).
Dengan contoh di negara lain tersebut, Irman berharap rangkaian sidang di MK dapat berjalan dengan cepat dan putusan dikeluarkan sebelum hari pemungutan suara pada 17 April 2019. ”Setelah pemilu, pasti MK penuh dengan agenda-agenda sidang yang lain seperti perselisihan hasil pemilu,” kata Irman.
Saat ini, status keanggotaan Hemas di DPD dalam keadaan diberhentikan sementara oleh Badan Kehormatan DPD dengan alasan tingkat kehadiran rapat dan sidang yang tendah. Ketua BK DPD Mervin Komber membantah sanksi ini diberikan karena keengganan Hemas mengakui kepemimpinan Oesman Sapta.
”Dua persoalan (sengketa pimpinan DPD dan pemberhentian sementara) ini adalah hal yang berbeda,” kata Mervin.
Namun, pihak Hemas menilai ada motif politik dalam keputusan tersebut. Terlebih lagi dalam UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) diatur bahwa pemberhentian sementara hanya dapat diberikan pada anggota yang menjadi terdakwa.