Kaum Muda dan Masa Depan Hutan Kalimantan
Dari menjual buah-buahan hutan, anak-anak para petani bisa mengenyam pendidikan. Jengkol dan durian contohnya. Hal itu juga yang membuat pemuda-pemuda desa mempertahankan hutannya, agar keindahan dan kekayaan terus dinikmati generasi-generasi berikutnya.
Dari menjual buah-buahan hutan, anak-anak petani bisa mengenyam pendidikan. Jengkol dan durian contohnya. Hal itu juga yang membuat pemuda-pemuda desa mempertahankan hutannya agar keindahan dan kekayaan terus dinikmati generasi-generasi berikutnya.
Di Desa Kubung, Kecamatan Delang, Lamandau, Kalimantan Tengah, salah satu tokoh muda desa, Albert Himawan (28), sedang sibuk memilah durian. Ia dibantu beberapa pemuda lain menurunkan durian dari keranjang. Duriannya berwarna-warni, ada yang hijau ada pula yang kuning, beberapa bahkan berwarna merah.
”Ini hasil menyandau (menunggu durian runtuh) semalaman di hutan,” ujar Albert, Rabu (16/1/2019).
Durian memang menjadi salah satu sumber penghasilan warga Desa Kubung. Dalam sehari, Albert bisa mengumpulkan 40-45 durian. Jika dijual harganya bervariasi. Harga durian ukuran kecil hanya Rp 10.000 per tiga buah, sedangkan ukuran sedang Rp 7.000 per buah dan besar Rp 10.000 per buah.
Hari itu, durian Albert langsung laku. Kehadiran mobil pikap putih pertanda, pembeli sudah menunggu di depan rumahnya. Albert pun mendapatkan Rp 450.000 dari menjual sebanyak 45 durian.
”Kalau rajin, bisa dapat Rp 13 juta tak sampai sebulan. Itu setiap malam menunggu di hutan. Kalau mau kaya, di sini harus rajin ke hutan,” kata Albert.
Tak hanya durian, hutan di Desa Kubung juga merupakan sumber jengkol. Siang yang sama, Jonathan Pondar (13) sedang asyik memanen jengkol di hutan sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Ia bahkan seperti tak menyadari gigitan semut merah di kedua kakinya.
Jonathan sudah berdiri di bawah pohon jengkol (Archidendron pauciflorum) atau yang disebut joring oleh warga selama hampir dua jam. Ia menunggu ranting jengkol jatuh dari atas di mana Toni (35), si tukang panjat, sedang memotong ranting yang penuh jengkol.
”Harus dipotong. Kalau ambil satu-satu, kerjanya lama. Pohonnya kan ada ribuan. Enggak selesai nanti sampai tahun depan pun,” kata Jonathan.
Cara memanen jengkol di desa itu memang dengan memotong ranting. Sekali dipotong butuh waktu dua sampai tiga tahun memanennya di pohon yang sama lagi. Namun, karena ribuan pohon jengkol masih berdiri kokoh, mereka masih memiliki banyak pilihan pohon untuk dipanen.
Jonathan tak sendiri. Di bawah pohon, ibu dan ayahnya sudah sedari tadi sibuk memasukkan jengkol ke dalam karung. Jengkol hutan di Kubung hampir sama dengan jengkol pada umumnya. Buahnya berkulit hitam kecoklatan, tetapi isinya lebih gemuk dan berwarna hijau muda.
Dua jam berselang, hujan turun dan mereka pun pulang ke rumah. Pekerjaan belum selesai. Sampai di rumah, mereka harus mengupas kulit jengkol satu per satu. Cara mengupas dengan memukul kulit jengkol yang keras menggunakan kayu. Kulit pun mengelupas dan isinya langsung diambil.
Pekerjaan selama dua jam di hutan lalu disambung empat sampai lima jam mengupas menghasilkan 45 kilogram jengkol hijau segar.
RK Maladi, ayah Jonathan, mengatakan, di lahan miliknya ada sekitar 1.200 pohon jengkol siap panen. Namun, setiap musim panen ia tak pernah mampu memanen semuanya. Dalam setahun, Maladi memanen jengkol sampai tiga kali. Biasanya panen jengkol pada bulan Desember, Januari, dan Februari.
”Banyaknya hasil panen tergantung dari seberapa rajin kami memanen. Selain itu, kami juga pilih-pilih karena pada musim buah itu tak hanya jengkol saja yang bisa dipanen, tetapi ada durian, langsat, dan lain-lain,” ujar Jonathan.
Harga jengkol per kilogram mencapai Rp 15.000. Artinya, hari itu Jonathan sekeluarga sudah menghasilkan Rp 675.000.
Dalam waktu seminggu, Jonathan sekeluarga sudah mengumpulkan sekitar 300 kilogram dengan nilai Rp 4,5 juta. Jengkol sudah dimasukkan ke dalam karung merah berkapasitas lebih kurang 50 kilogram. Maladi pun bersumpah pernah mendapatkan 15 ton dalam satu masa panen.
Albert dan Jonathan terus tersenyum kala panen mereka habis terjual. Mereka masih bisa tersenyum kala hutan mereka asri dan memberikan penghasilan.
Untuk menjaga hutan tetap rimbun dan kaya, cara paling sederhana yang mereka lakukan adalah menanam. Mereka tak ingin hutan berubah menjadi perkebunan. Mereka terus menanam karena itu yang diajarkan orangtua mereka. Begitu juga untuk anak-anak mereka kelak.
”Buah yang kami makan atau ambil tidak kami buang. Kami pasti tanam kembali. Itu yang bapak ajarkan kepada saya,” kata Jonathan.
Penolakan
Kisah manis dari Desa Kubung itu berbanding terbalik dengan yang dirasakan pemuda di Desa Kinipan, tetangga desa sekitar 100 kilometer dari Kubung. Warga Desa Kinipan saat ini sedang menghadapi ekspansi perusahaan sawit yang mengubah 1.200 hektar lebih hutan mereka menjadi kebun sawit.
Nisa (16), murid SMA di Desa Kinipan, mengungkapkan kesedihannya melihat hutan yang ada di dekat rumahnya rusak. Minggu (20/1/2019), Nisa bersama tiga teman sekolahnya dan belasan warga Kinipan membuat aksi damai menolak deforestasi dan menolak sawit.
Mereka menangis dan meratapi hutannya yang hilang diganti pohon sawit muda yang baru saja ditanam sebuah perusahaan perkebunan. Nisa pun menitikkan air mata.
Saya memang tidak pernah ke hutan, tetapi saya tahu kalau ayah saya menyekolahkan saya dari menjual durian, jengkol, dan madu.
Nisa menangis karena tahu saat ini ayahnya harus mencari pekerjaan lain karena sumber penghasilannya hilang.
Tak hanya menangis, mereka juga melawan deforestasi dengan menanam kembali di lahan yang sudah dibuka. Mereka menanam durian, jengkol, bahkan tanaman obat tradisional juga tanaman yang biasa digunakan untuk bumbu masak.
Sejak tahun 2015, PT Sawit Mandiri Lestari (SML) mulai membuka wilayah hutan di sekitar Kecamatan Lamandau dan Batang Kawa lebih kurang 1.242 hektar. Perusahaan tersebut sudah mengantongi izin dengan total areal inti seluas 9.435,22 hektar.
Hal itu juga sudah dipertegas Haeruddin Tahir, Executive Operation PT SML, pada Oktober tahun lalu di Nanga Bulik, Lamandau, pada pertemuan bersama masyarakat dan pemerintah. Saat itu, ia membantah membuka wilayah di Desa Kinipan.
Menurut Tahir, pihaknya belum membuka sampai ke wilayah Kinipan karena berdasarkan HGU, Kinipan tidak termasuk dalam areal inti perkebunan. Wilayah yang dibuka merupakan wilayah Desa Karang Taba.
PT SML memeroleh izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan itu dengan rincian areal inti seluas 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.
Pada 13 April 2017, kata Tahir, Badan Pertanahan Nasional melakukan pengukuran kadastral atau pertanahan dan perusahaan mendapatkan 17.046 hektar, antara lain plasma 7.611 hektar dan HGU seluas 9.435,22 hektar.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki menjelaskan persoalan tata batas masih dalam tahap penyelesaian antara Desa Kinipan dan Desa Karang Taba. ”Saya juga masih mau pastikan ke pimpinan daerah di kabupaten,” ujarnya.
Pihak perusahaan mengaku belum merambah wilayah Desa Kinipan karena menurut mereka wilayah yang dibuka adalah wilayah Desa Karang Taba, tetangga Desa Kinipan yang sudah setuju dengan pembukaan lahan.
Warga Kinipan yang merasa mengelola hutan tersebut turun temurun tak terima. Menurut warga Kinipan, wilayah yang dibuka adalah wilayah kelola adat mereka.
Sampai saat ini, persoalan tata batas itu belum selesai. Namun, di tengah proses penyelesaian masalah, perusahaan tetap beroperasi.
Di tengah perusahaan mengeruk keuntungan, ada rezeki dan masa depan yang direnggut dari hilangnya hutan. Seperti Nisa dan kawan-kawannya.
Baik Nisa maupun Albert memiliki caranya sendiri menjaga hutannya. Mereka paham pohon menjadi simbol hidup orang Dayak, sedangkan hutan menjadi semangat yang menaungi kehidupan mereka, turun-temurun.