Langkah Leonika demi Darah
Leonika Sari (25) adalah sosok yang tulus seperti merpati juga tekun dalam berkarya. Dari tangannya, lahir aplikasi donor darah Reblood. Ia menumbuhkan kesadaran dan mempromosikan donor darah, terutama kepada kaum milenial, lewat Reblood. Leonika pun melihat lebih jauh. Bahwa darah adalah data raksasa yang penting untuk diolah.
Darah menjadi kunci penyimpan berbagai macam informasi tentang kondisi kesehatan seseorang. ”Fokus start up,kan, big data. Big data-nya health care, ya, didapat dari darah. Bisa analisis macam-macam. Misi kita pengin safe for live. Nyelamatin lebih banyak orang. Awalnya memang donor darah, tapi next-nya lain-lain yang masih berhubungan dengan darah,” kata Leonika yang meraih penghargaan Forbes 30 Under 30 Asia 2016.
Ditemui di area coworking space Menara Kibar, Jakarta, Kamis (24/1/2019), gadis bersapaan Leo ini masih mengisi hari-harinya dengan kesibukan coding atau pemrograman untuk penyempurnaan aplikasi Reblood. Ia sedang menjajaki pemanfaatan data real time dari server PMI DKI Jakarta. Pekerjaan ini jadi lebih susah karena server yang digunakannya berbeda generasi dengan server yang digunakan PMI. ”Bahasa pemrogramannya ribet banget, enggak gampang,” ujarnya.
Jika sudah tenggelam dalam pekerjaan, Leo bisa menghabiskan hari-harinya hanya di depan komputer. Jangan harap bisa menghubunginya lewat telepon seluler atau alat komunikasi lain yang diaturnya dalam mode diam. Bukan hanya pekerjaannya, hobinya pun tak jauh dari komputer: bermain game.
Saking sering larut dalam pekerjaan pula, ia hampir terlambat mengetahui pemberitahuan ketika dirinya dinominasikan dalam penghargaan Forbes. Undangan itu baru dibuka setelah sebulan terkirim. Kala itu, ia baru beberapa bulan membuat Reblood dengan jumlah pengunduh baru 500 orang, mayoritas rekannya sesama mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Dari awalnya hanya dikhususkan untuk kegiatan donor darah di Kota Surabaya, Reblood kini sudah diunduh lebih dari 15.000 pengguna di aplikasi android dan 2.000 pengguna di situs web. Seluruh penggunanya adalah anak muda. Aplikasi itu kini menjangkau hampir semua provinsi di Indonesia. Setelah Surabaya, Leo terlibat aktif membantu PMI DKI Jakarta di bidang teknologi untuk meraih lebih banyak donor, terutama kaum milenial.
Kesinambungan stok
Kaum milenial jadi perhatian utama karena kebanyakan donor darah sudah berusia lanjut, mayoritas usia di atas 40 tahun. Populasi donor di bawah usia 35 tahun tergolong masih rendah, yaitu di bawah 30 persen.
Tanpa regenerasi ke kaum milenial, jumlah donor darah akan makin susut karena usia donor semakin menua dan tak lagi boleh mendonorkan darah jika sudah memasuki usia 60 tahun.
Tanpa bekal pengetahuan tentang donor darah, sebanyak 50 persen orang yang datang ke kegiatan donor darah justru tertolak karena kondisi tubuh yang tidak tepat. Padahal, tiap tahun, Indonesia kekurangan minimal 1 juta kantong darah merah. Pada 2013, kekurangan itu
bahkan mencapai 2,4 juta kantong.
Calon donor, misalnya, tidak paham bahwa dilarang mendonorkan darah kala menstruasi, baru boleh mendonor minimal setelah enam bulan ditato, harus makan pagi hingga tidur minimal delapan jam sebelum mendonor. Dengan mendaftar di aplikasi Reblood, calon donor akan mendapat pemberitahuan untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh sejak tiga hari sebelum mendonorkan darah.
Riwayat donor darah juga bisa diketahui sehingga bisa menjadwalkan untuk rutin mendonorkan darah setelah berjarak tiga bulan dari waktu mendonor sebelumnya. Aplikasi ini juga menyajikan data jadwal mendonor darah di setiap kota di hampir semua provinsi di Indonesia.
Dari data itu, diketahui bahwa tak semua PMI seaktif PMI di DKI Jakarta ataupun Surabaya dalam menggelar aksi donor darah. Sebagai gambaran, setiap hari ada 3-7 kegiatan donor darah di Surabaya dan 10-13 kegiatan donor darah di DKI Jakarta. Di kota lain, dalam sehari belum tentu ada donor darah.
Demi menjangkau kaum milenial, Reblood juga sempat meminta para influencer media sosial untuk mengunggah status terkait donor darah. Namun, uniknya, dari 10 influencer di Instagram yang dihubungi, separuhnya tidak tahu pasti tentang golongan darahnya.
”Awareness-nya masih rendah. Untuk tahu golongan darah diri sendiri saja enggak kepikiran, apalagi donor darah,” tambah Leo.
Tak melulu bekerja dengan bahasa pemrograman, Leo aktif turun ke lapangan meyakinkan PMI tentang keunggulan aplikasi Reblood hingga membuat kegiatan donor darah. Aplikasi donor darah lain biasanya sekadar membuat platform untuk menghubungkan orang yang butuh darah dan donor ketika terjadi kegawatdaruratan. Paling banyak, aplikasi donor darah lain hanya diunduh 500 orang.
Hal ini berbeda dengan Reblood yang memberi solusi agar stok darah terus ada dan berkelanjutan. Karenanya, huruf dua O pada kata Reblood dibuat menyatu seperti logo infinity atau simbol tak terhingga.
”Penginnya stok darah terus berulang jadi habit. Jadi reblood,” tambahnya.
Inkubator rintisan
Jumlah 15.000 pengunduh Reblood bisa menjadi indikator keberhasilan aplikasi tersebut. Akhir tahun lalu, aplikasi Reblood juga ditampilkan di halaman muka Google Play. Reblood juga menjadi satu dari tujuh usaha rintisan yang terpilih untuk mengikuti program akselerator start up (rintisan)Digitaraya yang juga dimentoring oleh Google.
”Kita tunjukkan ke PMI bahwa kita enggak hanya menang koneksi, tapi aplikasinya memang oke,” ujar Leo.
Leo membangun Reblood sejak Januari 2015. Kecintaannya pada dunia kesehatan sempat pupus karena ia dilarang melanjutkan kuliah kedokteran oleh orangtuanya. Ia lantas menamatkan pendidikan di jurusan Sistem Informasi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, dengan Reblood sebagai materi skripsinya.
Kala itu, Reblood diimplementasikan ketika ada kegiatan donor darah di kampusnya dan hanya dihadiri 70 orang dari total 18.000 mahasiswa. Jumlah itu lantas terdongkrak menjadi 300 donor sampai kantong darah yang dibawa PMI tak mencukupi.
Leo memulai perjalanannya di bidang usaha rintisan sejak terpilih mengikuti MITx Global Entrepreneurship Program di Massachusetts Institute of Technology pada 2014. Di MIT, ia mengibaratkan sedang belajar membuat roket karena semua orang paham tentang start up digital, tetapi istilah itu masih sangat asing ketika ia kembali ke Tanah Air. ”Di MIT, kita lihat the next industry yang bakal nge-hype, ya, digital. Karena sudah terjadi di AS, China, dan India. Indonesia tinggal tunggu waktu, makanya harus terjun ke industri ini,” ujarnya.
Langkahnya semakin mantap ketika bergabung menjadi bagian dari inkubator usaha rintisan yang dimotori Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Di Surabaya, Risma menjembatani jalinan kerja sama antara Reblood dan PMI Surabaya. Di Jakarta dan kota lain di Indonesia, Leo harus berjuang sendiri untuk membuktikan tentang efektivitas aplikasi Reblood untuk menjangkau donor darah milenial.
Baru mulai mendapat pendapatan dari iklan sejak akhir 2017, sebelumnya, Leo
harus merogoh dalam-dalam tabungannya atau mencoba meraih modal dari hadiah lomba.
Tawaran pekerjaan dari perusahaan bergengsi pun sempat ia tolak. Tentu itu membuat orangtuanya kesal. ”Berangkat jam 7 pagi pulang jam 12 malam. Pakai kaus. Jangan-jangan jalan-jalan ke mal. Begitu masuk Forbes dan diliput media, orangtua baru mulai percaya dan langsung beda,” tambah Leonika.
Apa pun tantangannya, Leonika tak menyurutkan langkah untuk terus berkiprah memperjuangkan kesinambungan stok darah. Demi penyelamatan nyawa sesama.
Leonika Sari Njoto Boedioetomo
Lahir: Surabaya, 18 Agustus 1993
Pekerjaan: CEO dan pendiri Reblood
Pendidikan: S-1 Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Penghargaan:
- Class 1 MIT Global Entrepreneurship Bootcamp 2014
- Forbes 30 Under 30 Asia 2016
- TEMPO 45 Perempuan Penembus Batas
- Top 3 of GBG Stories Search 2016
- Blackbox Connect 22 (Google for Startups scholar)
- Digitaraya Powered by Google Developers Launchpad