Membela sejak Belia
Raja Arthur kerap digambarkan sebagai tokoh kuat pembela rakyat dari ketertindasan. Dalam film ”The Kid Who Would Be King”, tokohnya adalah bocah yang kerap membela kawannya dari perundung.
Kisah petualangan Raja Arthur dengan pedang legendaris Excalibur, si penyihir baik Merlin, dan musuh bebuyutan mereka, penyihir jahat Morgana, sudah berkali-kali diangkat ke layar lebar. Tentu dengan beragam versi dan interpretasi.
Salah satunya, King Arthur: Legend of The Sword (2017), yang antara lain dibintangi aktor Jude Law. Bahkan, produsen film Walt Disney juga pernah mengangkat kisah klasik ini dalam versi kartun, The Sword in the Stone, pada tahun 1963.
Kini, produsen 20th Century Fox kembali mengangkatnya ke layar lebar dengan titel The Kid Who Would Be King. Jalan ceritanya masih berisi kisah petualangan penuh fantasi, sihir, dan heroisme. Keunikan film ini, tokoh-tokoh utama alias para kesatria dalam ceritanya adalah anak-anak. Latar waktunya pun masa kini, Inggris di zaman modern.
Adalah Alex (Louis Ashbourne Serkis), seorang anak yang tak populer di sekolahnya. Alex bersama sahabat karib yang juga tetangganya, Bedders (Dean Chaumoo), kerap menjadi korban perundungan. Si perundung, Lance (Tom Taylor) dan Kaye (Rhianna Dorris), tentu berpostur lebih besar dan lebih kuat.
Suatu ketika, Alex yang diburu oleh para perundung itu terpaksa lari bersembunyi dan masuk ke suatu area reruntuhan bangunan yang terbengkalai. Di sana, dia melihat sebilah pedang tertancap pada pilar beton. Dia berhasil mencabutnya.
Itulah pedang Excalibur, yang menurut legenda memiliki kekuatan magis. Pedang itu juga memberi legitimasi bagi orang yang bisa mencabutnya dari batu, ia berhak menjadi raja.
Sayangnya begitu pedang berhasil dicabut, kekuatan jahat penyihir Morgana (Rebecca Ferguson), yang berabad-abad terkubur, juga ikut kembali bangkit. Morgana dengan pasukan mistis dan kekuatan sihirnya berupaya mengambil alih dunia, diawali dengan upayanya merebut Excalibur.
Beruntung Alex mendapat bantuan penyihir baik, Merlin, yang juga mewujud pada sosok remaja bernama Mertin (Angus Imrie). Kesulitan juga akhirnya membuat Alex dan Bedder belakangan justru bisa ”berdamai” dan menjadi satu tim dengan Lance dan Kaye yang sebelumnya merundung mereka.
Petualangan seru terjadi saat Alex, Bedder, Lance, dan Kaye dipaksa berhadapan dengan pasukan makhluk jadi-jadian Mortes Milles yang bertubuh bara dan berpedang api.
Sang sutradara sekaligus penulis naskah, Joe Cornish, menggunakan trik pada latar cerita untuk membuat pertarungan penuh sihir bisa berpadu dengan realitas modern.
Sentuhan segar kekinian juga muncul pada keseharian para karakter dalam cerita ini. Saat mencari tahu arti tulisan berbahasa Latin yang tertera pada Excalibur, misalnya, Alex berujar pada Bedders, ”Coba kamu cari artinya di Google Translate.”
Kehadiran Mertin alias Merlin, yang memiliki keahlian sihir, sejenak mengingatkan orang pada dunia sihir ala Harry Potter. Bedanya, Mertin alias Merlin tak menggunakan tongkat sihir. Ia menggunakan gerakan-gerakan tangan yang cukup atraktif seolah tarian untuk menghadirkan sihir.
Di dunia kekinian, Mertin alias Merlin tak lagi menggunakan ramuan sihir dari bahan-bahan aneh macam bagian tubuh hewan atau akar-akaran tanaman langka. Ia malah mengudap junk food dan minuman bersoda. Itu sudah cukup untuk mendongkrak kekuatan sihirnya.
Pesan moral
Dalam film ini, Cornish juga mengusung pesan-pesan moral. Selain masalah perundungan, ia juga mengirim pesan kepahlawanan karena hasrat jahat Morgana bukan saja mengancam Alex, melainkan juga orang-orang yang ia cintai dan negerinya.
Film ini juga mengedepankan nilai-nilai keluarga, terutama melalui relasi Alex dengan sang ibu yang membesarkannya seorang diri. Ia terpisah dari ayahnya sejak kecil. Ketika menyadari pedang yang ditemukannya adalah Excalibur, Alex pun berusaha mencari kembali ayahnya. Di sini penonton disuguhi belokan jalan cerita yang tak terduga.
Cornish cukup dikenal melalui karya-karya filmnya yang mengangkat cerita anak dan remaja, khususnya dengan plot nyeleneh seperti dalam film Attack the Block (2011). Film bergenre komedi fiksi sains itu berkisah tentang sejumlah remaja yang berusaha menggagalkan aksi alien menginvasi dunia.
Dalam wawancaranya di situs Internet Movie Database (IMDb), Cornish bercerita bahwa interpretasinya atas kisah ini di film adalah impian dan sudut pandang masa kecilnya saat ia masih berusia sama dengan tokoh Alex dan Bedders, sekitar 12 tahun.
”Film ini semacam proyek spesial bagi saya. Apa yang saya kisahkan di sini adalah impian dan angan-angan masa kecil saya saat berusia 12 atau 13 tahun. Bagaimana saya di usia itu berfantasi dan berkeinginan membuat dan menyutradarai sebuah film dengan cerita dan fantasi seperti yang ada di film ini,” ujarnya.