BANDUNG, KOMPAS – Penduduk Indonesia pada 2045 diproyeksikan mencapai 320 juta jiwa dan sekitar 73 persen orang diantaranya diprediksi akan tinggal di perkotaan. Tren urbanisasi ini perlu diantisipasi dengan mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
Hal itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro dalam seminar Institut Teknologi Bandung Civil Engineering Expo (ICEE) di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (27/1/2019). Bambang sekaligus meresmikan ITB SDGs Network.
Bambang memaparkan sejumlah persoalan bakal muncul akibat urbanisasi itu, seperti kebutuhan hunian, transportasi dan sanitasi. Jika tidak diantisipasi dari sekarang, hal itu berpotensi menjadi masalah besar di masa mendatang.
“Agar urbanisasi tertangani dengan baik, solusinya perlu segera dicari. Sebab, kita menghadapi konsentrasi penduduk yang besar dalam wilayah relatif sempit,” ujarnya.
Perkotaan yang dimaksud tidak sebatas wilayah administrasi pemerintah kota. Tetapi, perkembangan kota metropolitan dengan kota-kota satelit di sekitarnya. Bambang mencontohkan, pembangunan DKI Jakarta terkoneksi dengan wilayah lain, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Jadi, urbanisasi yang dimaksud tidak sebatas perpindahan penduduk ke DKI Jakarta, melainkan kawasan Jabodetabek. Hal serupa berlaku untuk kawasan metropolitan lainnya.
Perpindahan penduduk akan diikuti meningkatnya kebutuhan hidup pada suatu kawasan. Untuk perumahan, diprediksi akan bergantung pada hunian vertikal karena keterbatasan lahan.
Menurut Bambang, masalah hunian tidak cukup diselesaikan dengan membangun apartemen. Tetapi, juga perlu direncanakan pembangunan konstruksi tahan gempa. Sebab, beberapa kota besar di Indonesia memiliki potensi gempa besar sehingga berisiko merusak bangunan.
“Pekerjaan konstruksi saat ini harus ekstra. Karena jika tidak dibuat tahan gempa, berpotensi menimbulkan kerugian besar,” ucapnya.
Kepadatan penduduk akibat urbanisasi juga membutuhkan dukungan transportasi memadai. Padahal, kemacetan di kota-kota besar saat ini sudah cukup parah.
“Penduduk Indonesia diperkirakan bertambah 60 juta jiwa dalam 26 tahun ke depan. Jika masalah transportasi tidak segera diantisipasi, kehidupan di kota semakin tidak nyaman,” ujarnya.
Oleh sebab itu, transportasi umum perlu ditambah sekaligus mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dibutuhkan inovasi pembangunan transpotasi, salah satunya angkutan umum berbasis rel. Bambang mengatakan, pembangunan transpotasi berbasis rel mempunyai tiga pilihan, di bawah tanah, sebidang dan di atas (elevated). Namun, ketiganya memiliki tantangan masing-masing.
“Biaya pembangunan transportasi di bawah tanah lebih mahal. Sistem sebidang tidak memungkinkan karena lahan terbatas. Sementara elevated membutuhkan dukungan teknologi untuk memastikan keamanan,” ujarnya.
“Menjadi tanggung jawab profesi para ahli teknik sipil untuk memastikan konstruksi transportasi yang aman. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mendukung kebutuhan transportasi di masa depan,” ujarnya.
Urbanisasi juga menyebabkan kebutuhan air meningkat di perkotaan. Akses mendapatkan air yang tidak tepat berpotensi menimbulkan masalah serius.
Bambang mencontohkan, 40 persen kebutuhan air bersih di Indonesia diperoleh dari air tanah. Sisanya dipenuhi jaringan PDAM, air mineral, dan sumber lainnya. Penggunaan air tanah yang cukup besar rentan memicu penurunan permukaan tanah. Imbasnya, sering terjadi banjir karena permukiman penduduk lebih rendah dari permukaan sungai dan laut.
“Pantai utara DKI Jakarta, misalnya, penurunannya sekitar 7-8 sentimeter per tahun. Masalah ini juga berpotensi merusak lingkungan,” ujarnya.
Bambang berharap, ITB SDGs Network mampu melahirkan solusi untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Terutama di bidang teknik, sesuai dengan spesifikasi perguruan tinggi tersebut.
Rektor ITB Kadarsah Suryadi mengatakan, selama ini, baik mahasiswa, alumni, dan dosen ITB, telah mencari solusi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Salah satunya dalam mengakses air bersih karena sangat berpengaruh terhadap kesehatan.
Kehadiran ITB SDGs Network diharapkan menjadi forum diskusi dan kolaborasi antara alumni dan civitas akademika ITB dengan pihak terkait lainnya dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Hal ini meliputi pembangunan berbasis rendah karbon untuk menjaga kelestarian lingkungan.
“Harapannya ITB SDGs Network segera menjadi ITB SDGs Center. Bila dulu hanya perlu surat keputusan rektor, kini harus persetujuan senat” ujarnya.