Pemimpin Dunia Tegaskan Pentingnya Multilateralisme
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
DAVOS, MINGGU — Pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia atau WEF ke-49, pada 22-25 Januari 2019, ditutup dengan komitmen dan inisiatif global untuk saling bekerja sama dan mendukung multilateralisme. Ancaman masa depan bukan hanya dari aspek ekonomi dan geopolitik, melainkan juga dari kerusakan lingkungan.
Dalam keterangan pers WEF yang dikutip Kompas, Minggu (27/1/2019), pertemuan tahunan ini menghasilkan beberapa inisiatif global dan komitmen guna mewujudkan negara yang lebih baik bagi dunia. WEF akan melibatkan lebih banyak kerja sama antara sektor publik dan privat dalam upaya menyelesaikan tantangan global yang dibarengi revolusi industri.
“Kita tidak bisa memecahkan persoalan dan tantangan global paling mendesak tanpa kerja sama yang unik antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil,” kata Presiden WEF Borge Brende dalam penutupan WEF 2019 di Davos, Swiss, Jumat (25/1/2019) waktu setempat.
Salah satu hasil pertemuan yang dinilai luar biasa, lanjut Brende, berupa inisiatif global untuk mengatasi sampah plastik dan memfasilitasi perdamaian di negara-negara yang terkena konflik. Peningkatan inisiatif global ini akan memperbaiki kepercayaan yang sempat hilang dan menjunjung tinggi martabat seluruh penduduk dunia.
Berbagai permasalahan global dapat teratasi apabila pihak-pihak yang berkepentingan memiliki iktikad baik “duduk satu meja” untuk merumuskan arstitektur global dan tantangannya di masa depan.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan, Jepang sebagai ketua dan tuan rumah pertemuan kelompok negara 20 atau G20 akan mendorong pengembangan tata kelola data global. Agenda itu dijuluki Abe sebagai “jalur Osaka” atau Osaka track yang akan bekerja di bawah naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Data global itu berisi layanan kesehatan dan pendidikan berbagai negara di dunia.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga menegaskan komitmennya terhadap sistem multilateralisme dalam salah satu sesi WEF. Dia mengajak para pemimpin dunia untuk menemukan landasan bersama dalam mencari arsitektur global yang lebih kuat, tetapi tetap fleksibel.
Komitmen serupa ditegaskan Wakil Presiden China Wang Qishan. China sebagai salah satu negara terkuat di dunia membuka kerja sama dengan semua negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi global dan memperkuat tatanan internasional.
Namun, pernyataan berbeda datang dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. AS justru akan mengubah lanskap geopolitik dan membawa “angin baru” atau new winds dalam percaturan ekonomi dunia. Dalam kebijakan itu, AS menitikberatkan pada kepentingan nasional dan cenderung mengesampingkan sistem multilateral.
Merespons pernyataan AS, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan, tantangan global harus direspon bersama. Dia menggarisbawahi pentingnya institusi dan advokasi multilateral agar pemimpin dunia paham bahwa akar masalah bersumber dari kekacauan sosial antarnegara.
Presiden Brazil Jair Bolsonaro berpendapat, tantangan global dapat diperkecil melalui reformasi administrasi dengan mengurangi beban pajak, meningkatkan jaring pengaman sosial, dan mendorong peluang bisnis yang lebih besar.
Masalah lingkungan
Penutupan WEF 2019 juga menitikberatkan perhatian pada risiko perubahan iklim yang dapat memusnahkan seperempat dari produk dometik global (PDB) global dan menimbulkan penderitaan yang tak terukur.
Temperatur permukaan bumi meningkat hampir 1 derajat selsius dan tidak pernah berhenti. Kondisi ini mengakibatkan bumi mengalami lima tahun terpanas sejak tahun 2010. Bank Dunia menyebutkan, PDB global akan tergerus hingga 25 persen jika peningkatan temperatur mencapai 3 derajat selsius. Selain itu, biaya untuk menanggung penderitaan manusia semakin beragam.
“Perubahan iklim terjadi sangat cepat lebih dari yang kita pikirkan,” ujar Chief Executive Officer Bank Dunia Kristalina Georgieva.
Oleh karena itu, lanjut Georgieva, pemerintah dan dunia usaha harus segera menghilangkan subsidi berbahaya untuk energi dan pertanian, beralih ke investasi ekonomi rendah karbon, serta mendukung negara-negara yang paling berisiko akibat perubahan iklim. Negara-negara anggota G20 berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Di sisi lain, persoalan ketimpangan tetap mendesak untuk diatasi. Sekitar 1 persen negara terkaya dalam kelompok G20 menghasilkan 10 persen dari total pendapatan dunia. Sementara itu, hampir setengah penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan. Salah satu penyebabnya karena tingkat konvergensi antara negara-negara berpenghasilan rendah dan tinggi mengalami perlambatan.
“800 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan jumlah itu tumbuh di Afrika sub-Sahara, yang disebabkan oleh konflik, bencana alam, pertumbuhan populasi, dan tata kelola yang buruk,” ujar Georgieva.