Serangan Bom di Katedral Filipina Selatan Tewaskan 20 Orang
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
MANILA, MINGGU – Dua serangan bom beruntun saat misa Minggu (27/1/2018) di Katedral Mount Carmel, Pulau Jolo, Provinsi Sulu, Filipina mengakibatkan 20 orang tewas. Pemerintah Filipina bersumpah akan menghancurkan mereka yang berada di balik pengeboman.
Serangan tersebut melukai 81 orang dan merupakan salah satu serangan yang paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir, di wilayah Filipina Selatan yang sudah lama dilanda ketidakstabilan.
Filipina selatan dilanda pemberontakan selama bertahun-tahun dan kekerasan di wilayah itu belum kunjung berakhir meski langkah-langkah baru-baru ini menuju perdamaian.
Serangan itu terjadi kurang dari seminggu setelah persetujuan tentang rencana untuk memberikan otonomi bagi masyarakat Moro di selatan, yang menimbulkan harapan untuk memadamkan kekerasan separatis lama. Serangan datang di tengah harapan dan kegembiraan tentang ratifikasi rencana devolusi yang bertujuan untuk membawa pembangunan, pekerjaan, dan perdamaian ke salah satu tempat termiskin dan paling bergejolak di Asia.
Gregory Wyatt, Direktur intelijen bisnis di PSA Philippines Consultancy, Gregory Wyatt mengatakan, masih ada kelompok-kelompok militan yang akan terus aktif dan menimbulkan ancaman keamanan.
"Hanya karena (referendum) telah berlalu tidak berarti bahwa segalanya akan membaik dalam semalam," katanya
Juru bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Salvador Panelo mengatakan, ledakan pertama di dalam katedral di Pulau Jolo, Provinsi Sulu. Ledakan tersebut menghancurkan bangku dan umat berjatuhan.
Diikuti oleh ledakan kedua di luar, yang diledakkan ketika pasukan keamanan menuju ke tempat kejadian. Selain itu, ledakan juga menewaskan tentara yang bergegas membantu korban luka di gereja yang rusak berat.
"Musuh-musuh negara telah dengan berani menantang kemampuan pemerintah untuk mengamankan keselamatan warga di wilayah itu. Angkatan bersenjata Filipina akan bangkit menghadapi tantangan dan menghancurkan para penjahat tak bertuhan ini," kata Salvador Panelo.
Ia menambahkan, akan mengejar sampai ke ujung bumi para pelaku kejam di balik kejahatan pengecut ini. "Hukum tidak akan memberi mereka belas kasihan," tegasnya
Tidak ada klaim pertanggungjawaban langsung dibalik aksi teror itu. Namun, polisi menduga pemboman itu adalah tindakan kelompok Abu Sayyaf, sebuah kelompok militan yang telah bersumpah setia kepada Kelompok Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kelompok ini terkenal karena pemboman dan kebrutalannya.
Kepala polisi nasional Oscar Albayalde kepada radio DZMM mengatakan, Abu Sayyaf adalah tersangka utama yang ingin menunjukkan kekuatan dan menabur kekacauan.
Di Jolo, ada kubu kelompok menjalankan operasi pembajakan dan penculikan yang gagal ditangani pemerintah. Kelompok itu, beroperasi di perairan dan pulau-pulau di Mindanao Barat, telah menahan banyak tawanan asing ketika tuntutan uang tebusan tidak dipenuhi.
Bertindak cepat
Sebelum terjadi pengeboman, Provinsi Sulu telah meratifikasi pembentukan daerah otonomi bernama Bangsamoro, dengan 85 persen pemilih di belakangnya. Provinsi Sulu adalah salah satu daerah yang menolak otonomi. Meski begitu, daerah ini masih menjadi bagian dari entitas baru sampai pada 2022.
Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menyebut serangan itu sebagai "tindakan pengecut" dan mendesak penduduk setempat untuk bekerja sama dan "menolak terorisme di setiap kemenangan".
Penasihat Keamanan Nasional Hermogenes Esperon, menyebut mereka yang bertanggung jawab sebagai "pembunuh massal" dan "penjahat ekstremis".
"Kami tidak akan membiarkan mereka merusak keinginan rakyat untuk hidup damai," katanya. Ia menganggap warga sipil menanggung beban terberat dari serangan itu, yang juga menewaskan lima tentara.
di tengah referendum muncul kekhawatiran tentang kehadiran para ekstremis di Filipina. Ada kemungkinan kaum radikal asing dari Indonesia dan Malaysia beralih ke Mindano dengan memanfaatkan perbatasan yang tidak mendapat penjagaan ketat.
Militer Filipina pada pertengahan 2017 menghadapi pertempuran terbesar dan terpanjang sejak Perang Dunia Kedua ketika aliansi ekstremis yang setia pada NIIS, di antaranya orang asing dan anak-anak, menyerbu Kota Marawi dan mencoba mendirikan kekhalifahan.