JAKARTA, KOMPAS — Eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap menjadi salah satu catatan yang perlu diperbaiki oleh Kejaksaaan. Sebab, masih cukup banyak laporan yang diterima Komisi Kejaksaan terkait dengan dugaan Kejaksaan tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan data Komisi Kejaksaan tahun 2018, dari total 519 surat rekomendasi Komisi Kejaksaan, laporan terkait dugaan Kejaksaan tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap mencapai 61 aduan. Jenis laporan ini ada di peringkat kedua setelah dugaan jaksa tidak profesional karena memberi petunjuk tidak tepat atau berlebihan (64 laporan).
Komisioner Komisi Kejaksaan, Erna Ratnaningsih, di Jakarta, Sabtu (26/1/2018), menyampaikan, Kejaksaan diharapkan lebih transparan dan akuntabel terkait dengan kinerjanya, termasuk terkait persoalan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri menyampaikan, pihaknya akan mempelajari laporan yang masuk ke Komisi Kejaksaan. Ia meyakini, upaya eksekusi sering terhambat karena berbagai hal, antara lain terkait dengan belum terbitnya salinan putusan hingga keberadaan terpidana.
Keterbatasan anggaran
Erna juga menyoroti masih adanya kejaksaan negeri di beberapa wilayah di Indonesia yang harus berhadapan dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Hal ini mengakibatkan kejaksaan negeri tersebut sulit menjalankan tugas. Hal ini tidak terlepas dari jarak tempuh yang jauh dengan lembaga pemasyarakatan atau pengadilan terdekat. Belum lagi, anggaran operasional yang terbatas juga berpotensi menghambat penanganan perkara hingga eksekusi putusan peradilan.
”Untuk anggaran, ini mendesak mengingat kekurangan anggaran ini bisa berdampak pada penanganan perkara atau membuat jaksa menjadi mencari jalan lain. Ini yang jangan sampai terjadi,” kata Erna.