Gangguan Gizi Ancam Anak Indonesia Timur
Meski ada perbaikan dari tahun ke tahun, status gizi anak balita di Indonesia, terutama di bagian timur, masih mengkhawatirkan.
JAYAPURA, KOMPAS Di luar kemajuan yang dicapai Indonesia, masalah gizi masih mengkhawatirkan. Meski prevalensi anak pendek (stunting) berkurang dari tahun ke tahun, laju penurunan dinilai lambat.
Kurus akibat gizi kurang dan gizi buruk masih mengancam kehidupan anak-anak, terutama di Indonesia timur. Kondisi ini bisa merugikan bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi di Indonesia dalam waktu dekat, 2020-2030.
Global Nutrition Report 2018 dari Unicef memperlihatkan, Indonesia ada di peringkat tinggi gizi buruk bersama sebagian besar negara-negara Afrika, India dan sekitarnya, serta sebagian negara di Timur Tengah.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan tren penurunan dibandingkan Riskesdas 2013. Secara nasional, gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita yang pada 2013 sebesar 19,6 persen turun menjadi 17,7 persen pada 2018.
Wilayah Indonesia timur pada umumnya masih di atas angka nasional. Yang tertinggi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kalau pada 2013 angkanya 33 persen, tahun 2018 turun menjadi 29,5 persen.
Prevalensi tinggi juga terlihat di wilayah Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Prevalensi Papua lebih rendah dari angka nasional. Bukan berarti lebih baik, tetapi hal itu karena kasus gizi buruk dan gizi kurang banyak tak terlaporkan.
”Ada delapan kabupaten dengan data gizi buruk 0 atau belum dilaporkan, yakni Biak Numfor, Paniai, Puncak Jaya, Mamberamo Raya, Tolikara, Nduga, Puncak, dan Deiyai,” kata Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Papua Christine Siregar, yang ditemui pada pertengahan Desember 2018.
Sepanjang tahun 2018, Dinkes Papua mencatat laporan 1.321 kasus gizi buruk dari sejumlah puskesmas di provinsi itu. Tiga kabupaten dengan kasus gizi buruk tinggi adalah Merauke (431 kasus), Dogiyai (197 kasus), dan Jayapura (146 kasus).
Kabupaten Asmat hanya melaporkan 23 kasus gizi buruk. Padahal, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats merawat sedikitnya 127 anak gizi buruk sejak Januari hingga awal Desember 2018.
Periode September 2017-1 Februari 2018, kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk melanda Asmat. Sebanyak 72 anak balita meninggal akibat komplikasi campak dan gizi buruk disertai penyakit penyerta, seperti tuberkulosis dan radang paru (pneumonia). Total 646 anak terkena campak dan 144 anak menderita gizi buruk di 19 distrik di kabupaten itu.
Christine mengatakan, minimnya pelaporan kasus gizi buruk antara lain karena rendahnya kesadaran tenaga medis untuk melaporkan temuan gizi buruk, tidak terjun ke lapangan untuk memantau kondisi anak, atau tak ada tenaga medis berani masuk akibat gangguan keamanan, seperti di Nduga, Puncak, dan Puncak Jaya.
Sejak awal Januari 2019 hingga kini tercatat 17 kasus gizi buruk ditangani RSUD Agats. Menurut dokter spesialis anak RSUD Agats, Helen Mayasari Subekti, saat dihubungi dari Jayapura, Jumat (25/1/2019), rentang usia penderita 1-3 tahun.
Empat dari 17 anak penderita gizi buruk itu meninggal. ”Mereka tidak murni gizi buruk, tetapi ada penyakit penyerta, seperti tuberkulosis, pneumonia, dan diare,” kata Helen.
Christine memaparkan, sejumlah faktor yang menyebabkan kasus gizi kurang hingga gizi buruk di Papua adalah kurangnya pengetahuan pola makan sehat, minimnya kesadaran orangtua membawa anak ke posyandu, minimnya pola hidup bersih dan sehat, minimnya layanan kesehatan, serta masalah ekonomi.
Direktur RSUD Agats drg Yenny Yong mengatakan, pemberian makanan bergizi kepada anak di Asmat sering kali terabaikan. Ada kebiasaan orangtua yang mengutamakan dirinya daripada anak yang sedang tumbuh kembang.
Terabaikan
Di Pulau Seram, Maluku, kasus gizi buruk bermunculan. Sepanjang minggu terakhir Desember 2018, Kompas menemukan anak-anak dengan gizi buruk di pelosok utara, selatan, serta barat Pulau Seram, baik di rumah maupun rumah sakit.
Kasus malnutrisi di NTT banyak dipengaruhi sulitnya akses air bersih sehingga masyarakat tak dapat menerapkan pola hidup bersih. Kondisi itu rentan memicu penyakit pada anak balita. Anak tidak mendapat asupan gizi lengkap.
Ibu hamil juga tidak mengonsumsi makanan bergizi. Akibatnya, bayi lahir dengan berat badan rendah, tubuh pendek, dan kurus.
Terkait kondisi di Indonesia timur, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy melihat, selain ada faktor geografis yang berat, ada juga aspek ketidakberdayaan perempuan mengambil keputusan dalam keluarga. Porsi makanan terbaik diprioritaskan kepada suami, bukan anak yang tumbuh kembang.
Diakui, pembangunan gizi oleh tenaga kesehatan tidak optimal. Baru 32 persen puskesmas memiliki tenaga gizi. Belum lagi soal pengetahuan tenaga kesehatan tentang gizi di lapangan yang beragam.
Akibatnya, surveilans gizi di tingkat puskesmas tak berjalan, data anak balita dengan masalah gizi tidak jelas, dan edukasi gizi oleh tenaga kesehatan ke masyarakat tak maksimal. Tenaga kesehatan baru bergerak ketika ada anak balita sakit atau bermasalah dengan status gizi.
Padahal, kekurangan gizi pada anak berusia 0-24 bulan akan berpengaruh menetap. Selain hambatan perkembangan fisik dan kecerdasan, anak yang kekurangan gizi berisiko lebih tinggi menderita penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit jantung, atau stroke pada masa dewasa.
Jika kekurangan gizi tak segera diatasi, bangsa Indonesia terancam tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Indonesia juga terancam gagal memanfaatkan jendela peluang (window of opportunity), ketika beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap penduduk usia tak produktif berada pada jumlah terkecil. Padahal, masa tersebut merupakan kesempatan untuk meningkatkan kemakmuran negara. (FLO/FRN/SEM/ADH)