JAKARTA, KOMPAS — Operator telekomunikasi seluler fokus pada peningkatan kualitas jaringan sebagai pendorong utama dalam mempertahankan kelangsungan bisnis dan pangsa pasar. Belanja modal tahun ini akan lebih banyak digunakan untuk menambah kapasitas dan memperluas jangkauan infrastruktur.
Analis pasar modal dari MNC Sekuritas, Victoria Venny, yang dihubungi, Minggu (27/1/2019), di Jakarta, mengatakan, rata-rata kenaikan nilai belanja modal berkisar Rp 1 triliun hingga Rp 5 triliun. Dia menganggap nilai tersebut wajar karena operator membutuhkan dana cukup besar untuk biaya pembelian perangkat infrastruktur.
”Penjajakan teknologi akses 5G sudah dimulai. Wajar jika belanja modal naik,” ujarnya.
Pada 2019, nilai belanja modal Telkom sekitar Rp 35 triliun dan XL Axiata sekitar Rp 7 triliun. Adapun Indosat Ooredoo mengalokasikan sekitar Rp 30 triliun hingga dua tahun mendatang.
Untuk kebutuhan belanja modal, operator biasanya menganggarkan 20-25 persen dari pendapatan.
Victoria menekankan, bisnis layanan telekomunikasi seluler bersifat padat modal. Ketika uang kas tidak cukup, cara yang memungkinkan adalah mengajukan pinjaman dan menerbitkan obligasi. Dengan demikian, ada potensi menambah rasio utang terhadap ekuitas.
Dalam laporan risetnya, MNC Sekuritas menyebutkan, kebijakan wajib registrasi prabayar dengan data tunggal kependudukan yang berlaku mulai 1 Mei 2018 akan berdampak positif dalam jangka panjang. Dampak positif itu, misalnya, menekan rasio jumlah pelanggan yang berhenti menggunakan jasa layanan seluler operator tertentu sehingga pertumbuhan industri kembali stabil dan lebih efisien.
Pertumbuhan tahunan pada 2019 diperkirakan kembali ke kisaran 9 persen. Selain efek positif kebijakan registrasi wajib nomor prabayar mulai terlihat, operator mengupayakan berbagai cara strategis. Cara tersebut, antara lain, operator menaikkan harga layanan data seluler dan menggabungkan beberapa produk tertentu ke dalam sebuah paket penjualan.
Wakil Presiden Direktur Hutchison Tri Indonesia (Tri) M Danny Buldansyah yang dikonfirmasi terpisah mengungkapkan, perilaku pelanggan mulai berubah, dari lebih banyak beli-pakai-buang nomor menjadi isi ulang. Ongkos pengadaan dan pendistribusian kartu nomor prabayar juga ikut berkurang.
Tri memiliki sekitar 37 pelanggan yang menyebar dari Aceh sampai Gorontalo. Sekitar 80 persen di antaranya penduduk usia muda yang mayoritas menggunakan ponsel pintar.
”Geliat orang yang mau menjadi pelanggan baru berkurang signifikan. Situasinya sekarang yaitu kami lebih banyak menerima permintaan isi ulang,” katanya.
Menurut Danny, strategi Tri pada tahun ini adalah memperkuat kualitas, kapasitas, dan memperluas jangkauan layanan. Sebagian besar belanja modal digunakan untuk menambah infrastruktur jaringan. Pembangunan pemancar baru diarahkan ke wilayah Jawa dan luar Jawa.
”Tidak ada lagi infrastruktur jaringan telekomunikasi berteknologi 2G. Semua pembangunan infrastruktur selama 2019 menggunakan teknologi akses 4G LTE,” ujarnya.
Saat ini Tri mempunyai 55.000-an pemancar, yang 17.000 unit di antaranya berteknologi 4G LTE.
Sebelumnya, Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo Chris Kanter menyampaikan, belanja modal 2019 akan sepenuhnya dipakai untuk membiayai pembangunan infrastruktur jaringan akses, jaringan inti, dan teknologi informasi. Dengan pembangunan ini, diharapkan kapasitas bertambah dan jangkauan layanan meluas.
Hingga September 2018, Indosat Ooredoo mengoperasikan 11.636 pemancar berteknologi 4G LTE di 276 kabupaten/kota dengan cakupan populasi sebesar 60 persen.
Sesuai tren
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan Baasyir mengatakan, beberapa operator memperkuat kualitas layanan data seluler karena menyesuaikan tren perilaku masyarakat dan industri telekomunikasi secara makro.
Selain memperluas jangkauan layanan 4G LTE, katanya, sebagian operator telekomunikasi mulai menyiapkan diri mengadopsi teknologi baru.