Lambat, Proses Pemecatan Aparatur Sipil Negara Tersangkut Korupsi
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemberhentian terhadap 2.357 aparatur sipil negara terpidana kasus korupsi berjalan lambat. Pasalnya, dari jumlah itu, hanya 393 yang telah diberhentikan dengan tidak hormat oleh pejabat pembina kepegawaian atau PPK. Rendahnya komitmen PPK dinilai sebagai penghambat pemberhentian itu.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, lambatnya proses pemberhentian ASN itu disebabkan mulai dari keengganan, keraguan, atau penyebab lain para PPK. Hambatan lain adalah beredarnya surat dari Lembaga Bantuan Hukum Korps Pegawai Republik Indonesia yang meminta penundaan pemberhentian para PNS tersebut.
"Kami sangat sesalkan sikap PPK yang sangat lambat memberhentikan pejabat yang terbukti korupsi. Kami mengingatkan agar kita semua tidak berkompromi dengan pelaku korupsi," ujar Febri di Gedung KPK, Jakarta, Senin (28/1/2019).
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 28 Januari 2019, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, itu baru 393 ASN yang diberhentikan tidak hormat. Masih ada 1.964 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Mayoritas ASN tersebut merupakan ASN di pemerintahan daerah.
Pemberhentian seluruh ASN ini seharusnya ditargetkan selesai pada akhir Desember 2018. Hal itu bahkan telah ditegaskan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala BKN pada 13 September 2018. Namun, hingga kini, pemasalahan itu tak kunjung tuntas.
Febri menuturkan, KPK terus bekoordinasi dengan Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN, untuk memastikan ketidakpatuhan atau hambatan dalam pemberhentian ini. KPK mengimbau agar pimpinan instansi serius menegakkan aturan terkait dengan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap ASN yang korupsi tersebut.
"KPK sangat menyayangkan rendahnya komitmen PPK, baik di pusat, ataupun daerah untuk mematuhi perundang-undangan yang berlaku. Sikap kompromi terhadap pelaku korupsi beresiko menambah kerugian keuangan negara karena penghasilan ASN tersebut masih harus dibayarkan negara," kata Febri.
Secara terpisah, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto menjelaskan, ada sejumlah alasan lambatnya proses pemberhentian itu, seperti ASN terpidana korupsi sudah pindah tugas, ASN sudah pensiun, atau ada ikatan persaudaraan atau pertemanan dengan PPK sendiri.
"Akibatnya, proses pemberhentian tidak dilaksanakan dengan maksimal," ujarnya.
Meski demikian, menurut Widodo, seharusnya PPK bersikap tegas terhadap pemecatan ASN terpidana korupsi karena hal itu telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang ASN. Kemendagri akan memasang badan apabila kelak ASN terpidana itu mengajukan langkah hukum.
"Kalau ragu, tanya ke saya, saya bantu kalau digugat. Jadi seharusnya enggak boleh ragu. Pecat saja mulai kapan, langsung diteken, tak usah berlaku surut. Kapan saja bisa langsung teken," kata Widodo.
Bahkan, Widodo menyebutkan bahwa ada konsekuensi bagi PPK yang tidak turut mengindahkan keputusan pemecatan itu. "Kalau tidak diberhentikan segera, kami kasih sanksi nanti. Kami harus kasih sanksi karena ini soal penegakan hukum," ujar Widodo.
Widodo menambahkan, besok, Kemenpan RB, BKN, dan Kemendagri, akan mengadakan rapat koordinasi untuk mempertegas penyelesaian masalah itu. Selain akan dibicarakan soal target pemberhentian, pemerintah pusat akan menegaskan soal sanksi bagi PPK yang tidak taat.
"Tinggal kami rumuskan sanksinya pada (PPK) yang bersangkutan. Atau kalau tak mau pecat, harusnya bilang, nanti akan kami ambil alih biar tidak berlarut-larut," tutur Widodo.