Dalam pertemuan di Dewan Keamanan (DK) PBB, Jumat (25/1/2019), panel ahli lembaga itu memperingatkan bahwa perubahan iklim memiliki "dampak keamanan" dan dianggap sebagai ancaman keamanan nasional. Menegaskan hal itu, sebagaimana dikutip kantor berita AP, Menteri Luar Negeri Maladewa, Abdulla Shahid, mengatakan bahwa perubahan iklim membahayakan keberadaan Maladewa, negara kepulauan di Samudera Hindia.
Hampir 12 tahun lalu, tepatnya 17 April 2007, ia pernah mengatakan hal serupa di DK PBB. "Saya mengingatkan dewan pada hari itu bahwa perubahan iklim bukan hanya fakta kehidupan sehari-hari bagi rakyat Maladewa, tetapi juga ancaman eksistensial," kata Shahid. "Saya mengingatkan dewan bahwa kenaikan permukaan laut setinggi dua meter akan cukup untuk menenggelamkan seluruh Maladewa di bawah air. Itu akan menjadi kematian suatu bangsa."
Dan 12 tahun kemudian, Shahid mengatakan, ”Saya masih mengulangi pesan yang sama.”
Namun, tidak semua negara sepakat. Duta Besar Rusia Vassily Nebenzia sangat menentang pembahasan perubahan iklim di DK PBB. Ia mengatakan, itu bukan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, dan hanya boleh dibahas dalam kasus-kasus tertentu di mana perubahan iklim itu merupakan faktor risiko.
Pejabat Duta Besar AS Jonathan Cohen bahkan tidak pernah menyebut kata "perubahan iklim" atau "keamanan" dalam pidatonya di depan DK PBB. Cohen hanya berbicara tentang bencana alam, seperti badai dan banjir, yang menyebabkan kehancuran dalam tatanan sosial, lonjakan kejahatan dan ketidakstabilan, bukan sebagai persoalan eksistensial.
Terkait isu itu, Indonesia memiliki posisi yang berbeda. Mengutip Yayasan PBB untuk Aktivitas Populasi (UNFPA), Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, perubahan iklim dalam 100 tahun ke depan akan mengakibatkan kenaikan muka air laut di kota kelahirannya, Semarang, yang berpotensi menggenangi kawasan pesisir Semarang antara 1,7 hingga 3 kilometer persegi.
Semarang yang secara ekonomi dinamis, menurut Retno, memiliki kemampuan beradaptasi atas dampak perubahan iklim. Namun, banyak kota dan negara lain tidak memiliki kapasitas untuk beradaptasi. Akibatnya, akan terjadinya kerentanan pangan, kehilangan wilayah serta memicu terjadinya migrasi. Perubahan iklim, menurut Retno, dapat mengancam keberadaan suatu bangsa, terutama bagi negara-negara kepulauan yang kecil. Sebagaimana Menlu Abdulla Shahid, Retno menempatkan persoalan perubahan iklim sebagai persoalan eksistensial.
Dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Sekjen PBB Antonio Guterres memberi tekanan yang sama. Guterres menuntut, semua pemerintah membuat komitmen yang lebih berani di luar Kesepakatan Paris. Menurut dia, komitmen pada Kesepakatan Paris tidak cukup. AS telah menarik diri dari kesepakatan itu, dan sejumlah negara yang dipimpin tokoh kanan, seperti Jair Bolsonaro, di Brasil memiliki kecenderungan serupa.
Guterres mengatakan, "Kami membutuhkan kemauan politik dan kami membutuhkan pemerintah yang memahami bahwa ini adalah prioritas paling penting di zaman kita." Ini tugas berat bagi Indonesia. Sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia diharapkan mampu menggaungkan isu itu, berhadapan dengan raksasa dunia.…