JAKARTA, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menegaskan, pemberian remisi merupakan hal umum dan hak bagi warga di lembaga pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan. Hal ini termasuk pemberian remisi kepada terpidana hukuman mati I Nyoman Susrama yang menjadi otak pembunuh wartawan Radar Bali pada 2009.
”Pemberian remisi itu hal yang umum, bukan hal khusus. Selain beliau (Susrama), ada ratusan orang yang mengajukan (remisi),” kata Yasonna saat ditemui di kantor Kementerian Hukum dan HAM, di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Pada 7 Desember 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
Sejak itu, beberapa kelompok wartawan dari sejumlah daerah mengecam keras pengurangan masa tahanan hanya sampai 20 tahun penjara per awal 2019. Saat ini, Susrama telah dihukum 10 tahun penjara. Pemberian remisi oleh pemerintah lantas dinilai mengancam perlindungan pers.
”Hukuman sebelumnya memang seumur hidup. Namun, lembaga pemasyarakatan bisa memproses pengajuan remisi dengan melihat apakah kelakuan dan sikap (terpidana) baik, apakah dia ikut program pembinaan atau telah menjalani hukuman sepuluh tahun,” lanjut Yasonna.
Pertimbangan
Pertimbangan pemberian remisi, menurut dia, sudah melalui prosedur pembahasan yang ketat, tidak hanya di tingkat Unit Pelaksana Teknik (UPT) Pemasyarakatan, tetapi hingga tingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham.
Pemberian itu menurut dia juga sesuai dengan ideologi Pancasila dan filosofi pemasyarakatan-pembinaan dan asas sila kedua Pancasila, yaitu ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ia pun menampik bahwa pemberian remisi pada pelaku pembunuhan wartawan mengancam perlindungan pers.
”Teroris saja diberi remisi kalau memenuhi persyaratan. Jadi, jangan dianggap ini melanggar kebebasan pers. Jangan dijadikan hal ini menjadi isu politik,” katanya.
Jumat, 25 Januari, Solidaritas Jurnalis Bali berunjuk rasa ke Kantor Wilayah Kemenkumham Bali di Denpasar. Mereka menuntut pencabutan remisi terhadap Susrama, terpidana pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa. Kalangan jurnalis menilai remisi ini sebagai kemunduran dalam era perlindungan kebebasan pers.
Sehari setelahnya, sekitar 30 jurnalis dari sejumlah aliansi, bersama pegiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH), menggelar unjuk rasa memprotes kebijakan Presiden Joko Widodo atas pemberian remisi terhadap Susrama di Bandar Lampung. Mereka menilai, keputusan itu menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia dan melukai rasa keadilan keluarga korban.
Kemudian, 27 Januari, Aliansi Jurnalis Independen Pekanbaru, Riau, juga menuntut hal yang sama kepada Presiden. Mereka menyampaikan maksudnya dengan mengumpulkan tanda tangan wartawan dan warga Pekanbaru yang melakukan kegiatan fisik pada acara hari tanpa kendaraan di depan Kantor Gubernur Riau, di Jalan Sudirman, Pekanbaru.
Sebelum Susrama dinyatakan sebagai tersangka dengan beberapa orang lainnya, Prabangsa ditemukan tewas mengapung di tengah laut di Pelabuhan Padang Bai, Karangasem, Bali, 16 Februari 2009. Ditemukan luka berat di bagian kepala dan wajah korban.
Pihak kepolisian memaparkan, pembunuhan dilakukan karena motif sakit hati atas tiga berita Prabangsa soal proyek pembangunan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Internasional Dinas Pendidikan Bangli yang dipublikasikan pada 3, 8, dan 9 Desember 2008. Susrama menjadi ketua proyek pembangunan senilai Rp 81 miliar tersebut (Kompas, 16/2/2010).
Pada saat itu, Susrama adalah tokoh masyarakat yang dikenal sebagai anggota DPRD Bangli terpilih periode 2009-2014, adik Bupati Bangli saat itu. Saat ini, Susrama masih dipenjara di Rumah Tahanan Kelas IIB Kabupaten Bangli, Bali. (ERIKA KURNIA)