NIIS Klaim Serangan Bom Bunuh Diri di Katedral Jolo
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
MANILA, SENIN — Kelompok militer Negara Islam di Irak dan Suriah mengklaim bertanggung jawab atas dua serangan ledakan yang terjadi di Gereja Katedral Katolik di Pulau Jolo, Filipina selatan, Minggu (27/1/2019), yang telah menelan setidaknya 20 korban jiwa. Disampaikan pula bahwa serangan itu dilakukan oleh dua pelaku bom bunuh diri di dalam gereja dan di tempat parkirnya.
Pesan itu disampaikan oleh sejumlah media massa asing dengan mengutip laporan yang diberitakan oleh perusahaan media yang berafiliasi dengan NIIS, Amaq News Agency, beberapa jam setelah terjadinya ledakan.
Sementara itu, belum ada kepastian dari Otoritas Filipina mengenai siapa pelaku ledakan tersebut. Hingga Minggu malam, baru ada dugaan bahwa serangan itu dilakukan oleh kelompok militan Abu Sayyaf. Kelompok itu cukup aktif melakukan berbagai aksi kriminal di kawasan Filipina selatan, seperti serangan bom dan penculikan.
Saat ini, ada setidaknya lima orang yang disandera oleh kelompok yang berafiliasi dengan NIIS itu, yakni satu warga Belanda, dua warga Malaysia, satu warga Indonesia, dan satu warga Filipina. (Kompas, 28/1/2019)
Pasukan bersenjata Filipina siap menaklukkan tantangan tersebut dan menghancurkan kriminal tanpa Tuhan itu.
Hasil investigasi sementara oleh Otoritas Filipina mengungkapkan, ledakan pertama terjadi di dalam gereja melalui alat bom yang kemungkinan ditempatkan di sela-sela bangku gereja. Ledakan kedua terjadi di tempat parkir di luar gereja melalui alat bom yang kemungkinan dipasang di sebuah sepeda motor.
Menurut kepala aparat kepolisian setempat, Direktur Jenderal Oscar Albayalde, bom itu bisa saja dikontrol dari kejauhan dengan menggunakan telepon genggam.
Seorang pejabat dari aparat keamanan yang tidak ingin mengungkapkan namanya menyatakan, kepada Associated Press, Hatib Sawadjaan, Komandan Abu Sayyaf, sebagai salah satu tersangka utama. Ada setidaknya empat rekan Sawadjaan yang direkam oleh kamera sekitar lokasi kejadian.
Selain korban jiwa, serangan itu telah melukai 111 orang lainnya. Korban itu termasuk lima anggota pasukan dari aparat keamanan Filipina yang tewas saat tiba di lokasi kejadian untuk membantu para korban.
Duterte dijadwalkan mengunjungi
Presiden Filipina Rodrigo Duterte beserta pejabat tinggi keamanannya dijadwalkan mengunjungi lokasi kejadian dan bertemu dengan korban yang selamat pada Senin (28/1/2019). Pemerintahan Duterte sebelumnya berjanji akan mengejar (pelaku serangan) hingga semuanya dibawa ke pengadilan dan dipenjara. Hukum tidak akan mengampuni mereka.
”Musuh negara dengan berani menantang kemampuan pemerintah menjamin keselamatan warga. Pasukan bersenjata Filipina siap menaklukkan tantangan tersebut dan menghancurkan kriminal tanpa Tuhan itu,” ujar Salvador Panelo, Juru Bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Paus Fransiskus juga mengecam serangan itu dan menyebutnya sebagai ”serangan teroris”. Dalam doa bersama di Panama, Minggu (27/1/2019), Paus menyampaikan, ”Semoga Tuhan, Maha Damai, mengubah hati orang-orang yang kejam dan mengaruniakan penduduk setempat dengan kehidupan yang damai."”Paus tercatat terakhir mengunjungi Filipina, salah satu negara di Asia dengan jumlah penduduk Katolik cukup besar, pada 2015.
Terjadi setelah referendum
Serangan pada Minggu kemarin terjadi enam hari setelah referendum yang digelar di Filipina Selatan, di mana mayoritas atau 85 persen pemilih setuju pada penetapan wilayah otonomi bernama Bangsamoro di Mindanao Muslim.
Provinsi Sulu, dengan ibu kotanya, Jolo, merupakan salah satu kawasan yang menolak penetapan wilayah otonomi itu. Meskipun demikian, kawasan itu akan tetap menjadi bagian dari wilayah otonomi yang rencananya berlaku mulai 2022.
Referendum digelar di saat kehadiran kelompok militan kriminal di Filipina semakin mengkhawatirkan. Negara-negara Barat menyambut baik penetapan wilayah otonomi itu dalam rangka mencegah kelompok militan bersekutu dengan kelompok asing lainnya. Apabila jumlah kelompok militan itu semakin besar, ditakutkan mereka akan menjadikan wilayah Filipina selatan sebagai basis pemberontak.
Perang antara militer Filipina dan kelompok kriminal yang berafiliasi dengan NIIS terjadi pada pertengahan 2017 di kota Marawi. Duterte telah menetapkan hukum darurat perang di sebagian wilayah selatan untuk memberantas kelompok kriminal. Ledakan dan serangan lainnya masih berlanjut hingga sekarang. (AP/AFP/REUTERS)