Pembangunan Sistem Transportasi Terintegasi Ibukota Butuh Dana Rp 605 Triliun
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pembangunan sistem transportasi terintegrasi Ibukota beserta perencanaan tata ruangnya membutuhkan anggaran sekitar Rp 605 triliun.
Rencana pembangunan transportasi itu dibahas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam rapat di Istana bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejumlah menteri, dan sejumlah kepala daerah yang terkait.
"Dalam rapat itu, saya mengatakan, yang mengambil kebijakan pembangunan transportasi seharusnya sama dengan yang menentukan tata ruang," tuturnya saat ditemui di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Langkah yang diambil antara lain pembangunan infrastruktur transportasi secara masif dan berbarengan dalam 10 tahun. Anies mengatakan, kebutuhan dananya berkisar Rp 605 triliun. Skema pembiayaannya merupakan kombinasi APBN dan APBD.
Anies menyadari, pembangunan infrastruktur transportasi secara masif dan bersamaan dalam 10 tahun akan berdampak pada lalu lintas ibukota. Menurut Anies, tahap-tahap pembangunannya akan diperhatikan agar tidak terlalu berdampak pada lalu lintas masyarakat.
Agar sistem transportasi di ibukota lebih efektif dan efisien, Anies memaparkan, jangkauan Transjakarta mesti mencapai 2.149 kilometer (km) dari yang saat ini 1.100 km. Jangkauan light rail transit atau kereta ringan (LRT) harus ditambah hingga 130 km.
Moda raya transportasi atau MRT perlu menjangkau hingga 112 km dari 16 km saat ini. Selain itu, jumlah angkutan mikro harus mencapai lebih dari 20.000 unit.
Selain pertambahan pembangunan infrastruktur transportasi, Anies mengatakan, jumlah sarana dan prasarana kebutuhan publik terkait juga harus ditingkatkan. Dia memperkirakan, permukiman akan ditambah 600.000 unit perumahan, pelayanan air bersih mencakup 100 persen wilayah DKI, dan pelayanan pengolahan air limbah meliputi lebih dari 50 persen wilayah Jakarta.
Menurut Anies, kemacetan yang terjadi saat ini merupakan salah satu imbas dari disintegrasi antarmoda transportasi dan disintegrasi antara tata ruang dengan sistem transportasi publik. "Seharusnya rute yang menghubungkan antara permukiman dan perkantoran warga turut menjadi pertimbangan," katanya.
Oleh sebab itu, Anies turut menyoroti pentingnya pembangunan transportasi berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi. Dia mengatakan, landasannya ialah Pasal 19 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal itu menyebutkan, penyusunan rencana tata ruang wilayah nasional salah satunya harus memperhatikan rencana tata ruang provinsi.
Dalam sebulan ke depan, Anies mengatakan, pihaknya akan mempersiapkan rincian usulannya tersebut untuk dipaparkan kembali pada pemerintah pusat. Hasil pemaparan tersebut akan menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam menentukan sumber pembiayaan.
Agar rencana tersebut dapat terealisasi, Country Director Institute for Transportation and Development Policy Yoga Adiwinarto berpendapat, delegasi wewenang pengelolaan transportasi dari pemerintah pusat ke pemprov DKI mesti dilakukan. "Khususnya untuk kereta rel listrik (commuter line) dan LRT Jabodebek," ujarnya.
Delegasi wewenang pengelolaan transportasi dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi DKI mesti dilakukan
Kedua moda transportasi tersebut tidak dapat menjalankan instruksi atau rencana yang disusun pemerintah DKI. Oleh sebab itu, menurut Yoga, realisasi integrasi sistem transportasi akan sulit tanpa pelimpahan wewenang kepada otoritas yang mengatur tata ruang wilayah terkait.
Yoga menilai, pemerintah provinsi DKI Jakarta sudah memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam membangun dan mengelola moda transportasi. "Hal ini tercermin dari pembangunan dan pengelolaan Transjakarta," ucapnya.