Penyintas Desak Percepat Pembangunan Hunian Sementara
Oleh
Videlis Jemali
·2 menit baca
PALU, KOMPAS — Penyintas gempa bumi yang masih tinggal di tenda darurat di Sulawesi Tengah mendesak pemerintah agar mempercepat pembangunan hunian sementara. Ketidaknyamanan tinggal di tenda jadi masalah utama.
Fatmiati (56), penyintas, menuturkan, dirinya bersama empat anggota keluarganya tak tahan lagi tinggal di tenda darurat. ”Saat siang hari sangat panas. Saat hujan lebat, lokasi pengungsian tergenang air, kadang air masuk sampai ke tenda. Ini sudah berlangsung empat bulan,” katanya saat ditemui di posko pengungsian Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulteng, Senin (28/1/2019).
Posko pengungsian Desa Mpanau didirikan di bekas sawah. Tenda-tenda berupa terpal berwarna putih keabuan yang disumbang oleh lembaga sosial. Tenda tersebut setinggi hingga 3 meter. Penyintas yang mengungsi di posko tersebut merupakan penyintas korban likuefaksi di Desa Mpanau yang rumahnya tertimbun lumpur.
Ini musim hujan dan pasti kami akan kerepotan di tenda-tenda darurat.
Selain itu, ada juga penyintas yang rumahnya rusak berat karena gempa bumi pada 28 September 2018. Fatmiati merupakan salah satu penyintas yang rumahnya roboh total.
Fatmiati menyatakan, dirinya pernah mendengar informasi akhir Desember 2018 hunian sementara (huntara) ditempati. Setelah itu, janji penempatan huntara bergeser ke Februari atau Maret 2019. ”Target itu sangat lama. Ini musim hujan dan pasti kami akan kerepotan di tenda-tenda darurat,” katanya.
Huntara sedang dibangun persis di bagian utara posko pengungsian darurat. Ada sejumlah unit yang sudah dibangun, tetapi banyak yang masih berupa kerangka baja ringan.
Nova (44), penyintas di Kelurahan Petobo, Kota Palu, menyatakan, mereka juga terus dijanjikan untuk menempati huntara. Namun, sampai saat ini mereka belum juga menempati huntara.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun huntara untuk penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi sembari menunggu pembangunan hunian tetap. Setidaknya, selama dua tahun penyintas menempati huntara sambil menunggu pembangunan hunian tetap.
Sebagian huntara sudah ditempati, misalnya, di Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi dan Kelurahan Duyu Kecamatan Tatanga, Kota Palu. Dalam berbagai kesempatan, Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian PUPR Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, molornya pembangunan huntara karena terhambat pasokan material, terutama baja ringan.
Produsen baja ringan di Sulteng tak beroperasi karena kerusakan akibat gempa bumi. Untuk itu, baja ringan harus dipasok dari luar Sulteng yang membutuhkan waktu untuk proses distribusinya.
Selain itu, masalah lain yakni terbatasnya tenaga kerja terampil lokal, terutama untuk merangkai baja ringan. Arie memastikan, penyintas secara bertahap menempati huntara yang sudah dibangun. Ditargetkan penyintas menempati huntara pada Maret 2019.