Program B-20 Harus Bisa Berdayakan Petani Sawit Swadaya
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program perluasan penggunaan solar dengan campuran minyak sawit atau fatty acid methyl ester sebesar 20 persen (B-20) untuk bahan bakar dinilai sejumlah kalangan berpotensi menyejahterakan petani sawit. Syaratnya, pemerintah harus berkomitmen untuk memberdayakan petani sawit swadaya.
”Sejak penerapan program B-20 pada September 2018, saya melihat pasokan bahan bakunya berasal dari perusahaan-perusahaan pengelola TBS (tandan buah segar). Kalau terus seperti ini, memang penggunaan dalam negeri meningkat, tapi tidak demikian dengan kesejahteraan petani, khususnya petani swadaya,” tutur Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto saat dihubungi Kompas, Senin (28/1/2019).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyampaikan, melalui program B-20, penyerapan produk kelapa sawit untuk penggunaan dalam negeri akan meningkat. ”Maka, diharapkan harga ekspor minyak kelapa sawit dan produk kelapa sawit juga akan terus membaik,” katanya (Kompas.id, 27 Januari 2019).
Memang, program ini dapat mengurangi defisit transaksi berjalan karena impor solar berkurang. Namun, Mansuetus menilai, program B-20 juga harus bisa berdampak positif bagi petani swadaya. Menurut dia, program ini berfokus pada dua isu, yaitu isu sosial dan isu lingkungan.
Mansuetus menegaskan, dari isu sosial, program B-20 memang dapat menyejahterakan petani sawit dan peningkatan peremajaan lahan. Namun, harus dipastikan, bahan baku bersumber dari kebun petani swadaya yang legal dan berkelanjutan.
”Petani swadaya sangat membutuhkan serapan rakyat. Sebab, petani swadaya yang jumlahnya lebih dari 2,4 juta orang selama ini menjual TBS ke tengkulak dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan petani plasma. Bagi petani plasma yang jumlahnya sekitar 1,2 juta orang, mereka tentu dapat langsung menjual TBS ke perusahaan dengan harga yang lebih baik,” ucap Mansuetus.
Ia mencontohkan, harga TBS umur tiga tahun di Provinsi Sumatera Utara periode 23-29 Januari 2019 sebesar Rp 1.177,89 per kilogram. ”Ini adalah harga yang didapatkan petani plasma. Sementara untuk petani swadaya, harganya lebih rendah Rp 400 sampai Rp 500 per kilogram,” ujarnya.
Sementara dari isu lingkungan, mengingat kebutuhan dalam negeri akan meningkat, Mansuetus menyebutkan, jangan sampai sawit untuk program B-20 bersumber dari ”operasi kejahatan” atau deforestasi. Maka, pemetaan dan pendataan sumber kelapa sawit yang akan digunakan untuk program ini harus jelas.
Belum ada data
Kendala lain, lambatnya realisasi peremajaan lahan sawit dinilai karena tidak adanya data mengenai kepemilikan serta data petani sawit yang jelas. Realisasi peremajaan lahan sawit masih sangat minim. Hingga Oktober 2018, dari target peremajaan 185.000 hektar tahun 2018, baru terealisasi 14.792 hektar (Kompas, 10/10/2018).
Lambatnya realisasi peremajaan lahan sawit dinilai karena tidak adanya data mengenai kepemilikan serta data petani sawit yang jelas.
Mansuetus mengatakan perlu adanya pemetaan terlebih dahulu, misalnya terkait profil petani, luas lahan yang dikerjakan, dan produktivitasnya. Setelah ada data yang jelas, kebutuhan petani dapat lebih terpenuhi.
Secara terpisah, Sekretaris Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Achmad Maulizal Sutawijaya menyatakan, skema pembiayaan dengan aturan baru sedang disusun. Salah satunya adalah peluncuran kartu pekebun sawit.
”Saat ini, kartu pekebun masih dalam tahap usulan. Nantinya, kartu ini akan membantu peremajaan lahan dari para pekebun sawit kita. Sistemnya seperti e-banking, berbagai fasilitas lengkap dalam satu kartu itu,” kata Achmad. (SHARON PATRICIA)