JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketidakpastian global, sektor keuangan yang masih dangkal akan memperbesar risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Strategi pendalaman sektor keuangan mesti disesuaikan dengan karakteristik dan literasi keuangan setiap daerah.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Leonard VH Tampubolon mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang tertahan pada kisaran 5 persen turut dipengaruhi tekanan eksternal. Untuk mencegah situasi semakin buruk, pertumbuhan ekonomi mesti dibarengi pendalaman sektor keuangan.
“Pendalaman sektor keuangan sangat dibutuhkan untuk membiayai kebutuhan investasi,” kata Leonard dalam seminar hasil kajian pendalaman keuangan Indonesia di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup besar ditilik dari jumlah penduduk, luas wilayah, dan sumber daya alam. Berbagai potensi itu akan tergarap optimal jika sektor keuangan dapat membiayai investasi dan mendanai sektor riil di setiap daerah. Sektor keuangan ini berperan penting sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan sistem pembayaran.
Leonard mengatakan, pendalaman sektor keuangan Indonesia masih tertinggal dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Filipina. Dari segi inklusivitas, masih banyak penduduk Indonesia yang belum menikmati jasa keuangan secara formal. Kondisi ini menyebabkan ketahanan terhadap gejolak ekonomi global relatif rendah, kendati fundamen ekonomi dinilai kuat.
Ekonom Universitas Parahyangan Bandung Miryam Wijaya berpendapat, strategi pendalaman sektor keuangan tidak bisa dipukul rata. Pemerintah harus memerhatikan karakteristik setiap daerah terkait literasi keuangan dan kemampuan sektor riil untuk tumbuh. Tujuannya agar produk keuangan yang diberikan ke daerah tidak keliru.
“Produk keuangan sukuk, misalnya, tidak cocok untuk daerah yang tingkat literasi keuangannya masih rendah, bahkan perbankan aja belum kenal. Ibarat pakai baju ukuran pas, pasti hasilnya cantik dan bagus,” kata Miryam.
Perbedaan kondisi ekonomi di setiap daerah berimplikasi pada pendekatan perencanaan pembangunan keuangan yang beragam. Untuk itu, arah kebijakan pendalaman sektor keuangan tidak bisa hanya bertumpu pada perbankan. Institusi nonbank mesti dilibatkan untuk menjangkau target lebih luas.
Dari penelitian Miryam dan tim, keterkaitan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat dikelompokkan dalam empat situasi, yaitu pertumbuhan ekonomi mendorong permintaan terhadap sektor keuangan (demand-following), sektor keuangan yang memimpin perekonomian (supply-leading), dua arah, dan tidak ada hubungan sama sekali.
Perankredit
Miryam menambahkan, peran kredit terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia terus naik. Berdasarkan hitungan ceteris paribus, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dalam satu tahun dibutuhkan pertumbuhan kredit produktif sebesar 10,85 persen.
“Kredit produktif tidak disalurkan oleh perbankan saja, tetapi lembaga keuangan mikro. Selama ini porsi lembaga mikro belum terdata karena porsinya sangat kecil. Padahal, perannya bisa ditingkatkan,” kata Miryam.
Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Bappenas Muhammad Cholifihani menuturkan, Bappenas sudah melakukan analisa kedalaman sektor keuangan dengan sampel di lima daerah, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Porsi kredit terhadap produk domestik bruto daerah (PDRB) yang mencapai 30 persen hanya di Sumatera Utara dan Jawa Barat.
Rendahnya porsi kredit di Kalimantan Timur karena mayoritas sumber pembiayaan dari luar perbankan, seperti perusahaan induk dan pembiayaan internal, sementara di Papua akibat rendahnya literasi keuangan yang hanya 22 persen. Adapun di Jawa Timur karena dominasi perusahaan keluarga yang tidak tertarik penawaran umum perdana (IPO).
Pendalaman pasar keuangan ini bisa dilakukan dengan memperluas instrumen dan intensitas penerbitan aset keuangan, memperbaiki kualitas platfom ekonomi digital, serta meningkatkan emiten serta basis investor domestik. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk memperluas keterjangkauan dan meningkatkan literasi keuangan.