Seminggu Longsor, Desa Mangempang Masih Sulit Ditembus
Oleh
Fransiskus Pati Herin dan Reny Sri Ayu
·4 menit baca
GOWA, KOMPAS — Satu minggu setelah bencana longsor, Desa Mangempang di Kecamatan Bungaya, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, masih sulit ditembus. Para sukarelawan berusaha menembus belasan titik longsor menggunakan sepeda motor trail, sementara warga berjalan kaki memikul logistik serta mengevakuasi korban luka dan trauma.
Dari penelusuran pada Senin (28/1/2019), rute dari Dusun Lemoa, Desa Pattallikang, Kecamatan Manuju, hingga 4 kilometer sebelum mencapai Mangempang terdapat 18 titik longsoran yang sangat parah. Semua titik longsor itu hanya bisa dilewati dengan sepeda motor trail. Jarak Lemoa-Mangempang hampir 11 kilometer.
Sementara kebanyakan warga dan para sukarelawan berjalan kaki dari dan menuju Mangempang, desa yang berpenduduk hampir 2.000 jiwa. Beberapa warga terdampak longsor, warga sakit, dan lanjut usia dievakuasi dengan cara dipikul. Di antara titik longsor itu, mereka dibantu ojek sepeda motor dan truk serta mobil bak terbuka.
Sejumlah titik longsor dipenuhi batu besar setinggi lebih kurang 6 meter. Itu belum termasuk lumpur dan potongan kayu. Ketinggian lumpur bahkan mencapai lebih dari 6 meter. Ada juga titik ruas jalan yang amblas di Jalan Poros Bungaya yang berada tepat di kaki bukit.
Pembukaan titik longsor di Jalan Poros Bungaya baru berlangsung di dua lokasi, yakni Bukit Massongko dan Dusun Pattiro yang berada di Desa Pattallikang. Di Bukit Massongko masih ada hambatan material berupa batu besar, tetapi sudah bisa dilewati motor trail. Akses ke Pattiro juga bisa ditembus motor trail. Pembersihan jalan di Pattiro diperkirakan rampung pada Rabu (30/1/2019).
Ratusan warga Mangempang untuk sementara meninggalkan kampung mereka dan mencari tempat tinggal yang lebih aman. Ada yang tinggal bersama keluarga di Lemoa, bahkan ada juga yang ke Makassar. Alasan lain adalah mereka lebih mudah mengakses makanan dan kebutuhan lain. Kondisi Mangempang yang masih terisolasi menyebabkan arus logistik belum mengalir dengan cepat.
”Di Mangempang, warga memilih mengungsi di masjid. Makanan yang datang lebih banyak mi instan. Makanan itu dipikul warga dan dibantu sukarelawan. Ada beras bantuan, tetapi warga tidak mampu pikul. Jalan jauh, mendaki, dan barangnya berat,” kata Nurul (30), warga Mangempang yang berjalan kaki dari kampungnya ke Lemoa.
Temuan korban
Pada Senin, tim gabungan TNI, Polri, dan Basarnas kembali menemukan tiga jasad korban di titik longsoran di Pattiro. Dengan demikian, total korban yang telah ditemukan 15 orang. Longsor itu terjadi pada 22 Januari lalu.
Perwira Seksi Operasi Komando Distrik Militer 1409/Gowa Kapten (Arm) Mahyiddin mengatakan, berdasarkan verifikasi data terakhir, jumlah korban tertimbun di Pattiro sebanyak 21 orang. Dengan begitu, korban yang belum ditemukan sebanyak 6 orang.
Berdasarkan data dari posko induk penanggulangan bencana Pemerintah Kabupaten Gowa, hingga Senin pukul 19.20 Wita jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan longsor di kabupaten itu sebanyak 45 jiwa.
Sementara itu, aktivitas belajar di sekolah-sekolah yang terdampak bencana di Sulsel diharapkan berangsur normal. Saat ini siswa sedang melakukan simulasi menghadapi ujian nasional berbasis komputer. Namun, di sekolah yang dipenuhi lumpur dan komputernya rusak, simulasi dilakukan dengan menumpang di sekolah lain yang jadwalnya berbeda.
”Memang, tidak semua sekolah bisa siap hari ini, terutama di Kabupaten Jeneponto yang sekolahnya kemasukan lumpur. Ada sekolah yang semua komputernya rusak karena terendam lumpur. Untuk yang kasusnya seperti ini, siswa bisa menumpang simulasi di sekolah lain. Untuk alat, bisa pinjam dari guru, sekolah lain, atau jika siswa punya, mereka bisa membawa ke sekolah,” kata Kepala Dinas Pendidikan Sulsel Irman Yasin Limpo, Senin.
Pantauan di Jeneponto pada akhir pekan kemarin menunjukkan, siswa mulai berdatangan untuk membersihkan ruang-ruang kelas. Di beberapa sekolah, lumpur masuk ke ruang kelas hingga ketinggian 20 sentimeter. Pembersihan lumpur umumnya menggunakan alat seadanya.
Untuk mempercepat proses pembersihan sekolah dan mengganti peralatan yang rusak, pihak dinas pendidikan mengimbau siswa dan guru dari sekolah-sekolah yang tidak terdampak untuk membantu.
”Kami menggalakkan aksi solidaritas sekolah. Siswa melalui OSIS mengumpulkan bantuan berupa peralatan ataupun uang untuk disumbangkan ke sekolah yang terdampak. Ada sumbangan peralatan sekolah, semen, pasir, batu bata, dan cat. Kalau menunggu (pemerintah) pusat, biasanya urusan administrasi lama. Ini juga untuk membangun karakter siswa,” kata Irman.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Sulsel, ada lima sekolah SMA/SMK yang kondisinya rusak parah, termasuk fasilitas pendukungnya. Tiga sekolah itu berada di Jeneponto, selebihnya di Makassar dan Gowa.
Banyak pula sekolah yang terendam banjir, tetapi tingkat kerusakannya tidak terlalu parah karena mengering saat air surut. Untuk tingkat SMP dan SD, pembenahan diserahkan kepada setiap kota/kabupaten.