Terima Kasih Indonesia kepada Butet
Final turnamen bulu tangkis Daihatsu Indonesia Masters menjadi panggung terakhir Liliyana Natsir (33). Atlet yang populer disapa Butet itu membawa ganda campuran Indonesia menjadi salah satu kekuatan bulu tangkis dunia.
Berpasangan dengan Tontowi ”Owi” Ahmad, Butet harus mengakui keunggulan ganda campuran nomor satu dunia, Zheng Siwei/Huang Yaqiong (China), 21-19, 19-21, 16-21, pada final di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (27/1/2019).
Meski tak mendapat gelar juara pada penampilan terakhirnya, Butet tetap dielu-elukan 7.000-an penonton yang memenuhi Istora. Mereka bahkan datang sejak pagi untuk menyaksikan acara perpisahan bagi Butet.
Butet pun tak dapat menahan tangis pada acara yang disiapkan untuknya itu. Dia menarik napas dalam-dalam saat bersiap memasuki lapangan, juga sebelum mengucap kata pertama saat diminta memberi sambutan.
”Hari ini, Minggu, 27 Januari, saya menyatakan pensiun,” katanya. Sambil menyeka air mata dengan tangannya dan di tengah teriakan ”I love you, Butet” dari penonton, Butet berterima kasih kepada pemerintah, PBSI, klub, pelatih, rekan sepelatnas, dan sponsor.
”Yang paling penting, saya berterima kasih pada orangtua yang selalu mendukung saat saya menang atau kalah. Mama mengantarkan saya ke Jakarta saat saya 12 tahun sampai saya pensiun,” kata Butet yang mendapat karangan bunga serta peluk dan cium dari ibu dan ayahnya yang datang dari Manado.
Butet layak mendapat penghargaan karena menjadi salah satu pebulu tangkis terbaik dunia. Gelar pada 2005, 2007, 2013, dan 2017 menjadikannya sebagai pemain ganda campuran dengan gelar juara dunia terbanyak.
Butet juga menjadi pencipta sejarah ketika menjuarai All England 2012 bersama Owi. Mereka mempersembahkan gelar ganda campuran dari turnamen klasik itu, 33 tahun setelah Christian Hadinata/Imelda Wigoeno terakhir kali merebutnya pada 1979. Semua itu disempurnakan dengan emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
”Saya berterima kasih kepada Butet karena melalui prestasinya, pamor ganda campuran Indonesia menjadi luar biasa. Padahal, dulu, ganda campuran adalah nomor yang kurang bergengsi,” ujar Christian, legenda bulu tangkis Indonesia.
Pengakuan Butet sebagai salah satu atlet terbaik dunia pun disampaikan rival-rivalnya, seperti Zheng Siwei, Chen Qingchen, dan Goh Liu Ying. ”Butet selalu memberikan yang terbaik hingga pertandingan terakhirnya,” kata Zheng Siwei.
Komitmen
Butet tak hanya memiliki karier panjang. Dia juga konsisten berada di level papan atas persaingan dunia.
Pemain bergaya tomboi itu menjadi anggota pelatnas pada 2002 dan menekuni ganda campuran sejak 2004. Berpasangan dengan Nova Widhianto, lalu bersama Owi sejak 2010, Butet hampir selalu ada di peringkat 10 besar dunia.
Selama 17 tahun menjadi pemain nasional, dia berpengalaman mengalahkan ganda campuran terbaik dunia yang umumnya berasal dari China, seperti Zhang Jun/Gao Ling, Zheng Bo/Gao Ling, Zhang Nan/Zhao Yunlei, hingga era Zheng Siwei/Huang Yaqiong.
Semua itu didapat karena Butet selalu punya target dan motivasi. Dia pun berkomitmen mewujudkan target itu dengan disiplin dalam latihan dan pola hidup sehari-hari.
Pola makan dan istirahat, yang tak kalah penting dengan latihan bagi atlet, dijaga dengan baik. Tak jarang, dia pun menambah porsi latihan sendiri.
Menjelang Olimpiade, Butet menambah latihan fisik dengan skipping pukul lima pagi. ”Saat dia menjalani itu, saya tidak tahu. Sikap seperti itu yang belum terlihat pada pemain-pemain muda,” kata pelatih ganda campuran Richard Mainaky.
Pemain ganda putri Greysia Polii berpendapat sama. ”Kami sama-sama berasal dari Manado dan pernah satu sekolah dasar. Saya melihat bagaimana dia selalu mengejar apa yang dia mau,” katanya.
Greysia menuturkan, ketika Butet berambisi jadi juara, dia fokus berusaha mengejar cita-citanya itu. ”Setelah jadi juara, Cik Butet ingin konsisten mempertahankan juara. Hal itu juga dikejar sungguh-sungguh. Hal itulah yang membuat Cik Butet jadi seperti sekarang ini,” ujarnya.
Pelatih fisik ganda putra dan campuran pelatnas bulu tangkis Felix Ary Bayu Martha punya cerita lain tentang komitmen. Butet beristirahat dari bisnis yang dikelolanya tiga bulan menjelang Olimpiade. Dia benar-benar fokus bersiap untuk ajang olahraga terbesar di dunia itu.
Bagi Christian, konsistensi sebagai pemain top dunia bisa diraih karena Butet memiliki kecintaan pada bulu tangkis. ”Itu jadi modal penting bagi atlet dan tidak pernah redup dalam diri Butet. Dia akan melakukan apa pun yang menjadi tanggung jawabnya tanpa terpaksa dan dipaksa,” ujarnya.
Berlatih bulu tangkis sejak berusia sembilan tahun, perjalanan Butet menjadi atlet penuh pengorbanan. Saat awal berlatih di PB Tangkas Jakarta pada usia 12 tahun (1997)—sebelumnya Butet bergabung dengan klub Pisok Manado—tiada hari tanpa menangis bagi bungsu dari dua bersaudara itu.
Saat malu menangis di hadapan para seniornya, dia pun menangis di kamar mandi sebelum pemain yang lain bangun tidur. Namun, hasrat menjadi atlet membuatnya bertahan meski tinggal berjauhan dengan orangtua.
Kesempatan masuk pelatnas datang pada 2002. Setelah kesulitan bersaing di arena internasional pada ganda putri, pintu menuju kesuksesan terbuka di ganda campuran. Richard melihat bakat itu.
Hanya dua bulan setelah berpasangan dengan Nova, mereka dua kali menaklukkan juara Olimpiade, Zhang Jun/Gao Ling, pada China Masters, November 2004. Pada bulan itu pula, Nova/Butet menjuarai Singapura Terbuka.
Pada masa berpasangan dengan Nova, Butet juga menjuarai ganda putri China Masters 2007 dan Indonesia Terbuka 2008 bersama Vita Marissa. Tak hanya menjadi senior dan partner ganda putri, Vita adalah sahabat bagi Butet.
Butet menghadapi tantangan baru ketika dipasangkan dengan Owi, yang belum punya prestasi apa-apa, pada 2010. Tantangan itu dijawabnya dengan membawa Owi menjadi juara dunia, All England, dan Olimpiade.
Setelah 52 gelar juara internasional didapat, Butet pun lelah. Dia tak ingin memaksakan diri meneruskan karier sebagai atlet tanpa target dan motivasi. Atas dasar itu, bisnis menjadi pilihan jalan hidup berikutnya. Butet juga ingin memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga.
”Saat menjadi atlet dan pulang ke Manado hanya sebentar, saya selalu tidak tega mendengar Mama bilang, ’Sudah harus pulang ke Jakarta, ya?’. Sekarang, saya bisa lebih rileks bersama mereka,” katanya.
Namun, Butet tak memungkiri bahwa dirinya akan rindu dengan bulu tangkis. ”Saya tidak akan bisa melupakan bulu tangkis, dunia yang membuat saya bisa memberikan yang terbaik untuk negara dan bangsa,” katanya.
Atas semua usaha terbaik yang telah diberikan itu, Indonesia pun berterima kasih kepada Butet. (Yulia Sapthiani/Denty Piawai Nastitie)