CARACAS, MINGGU Negara-negara Uni Eropa mendesak Presiden Venezuela Nicolas Maduro segera mengadakan pemilihan umum lagi. Jika Maduro dalam waktu beberapa hari tidak mengumumkan hal ini, kelompok negara-negara Uni Eropa akan mengambil langkah terkait pengakuan kepemimpinan di Venezuela.
Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Federica Mogherini menegaskan hal itu pada Minggu (27/1/2019). Sebelumnya, dalam sidang khusus Dewan Keamanan PBB, Perancis dan Inggris menekan Presiden Maduro dan menyatakan akan mengikuti langkah Amerika Serikat yang mengakui kepemimpinan Juan Guaido jika pemilu tidak segera dilakukan. Mereka meminta batas waktu pemilu diadakan dalam waktu delapan hari.
Menteri Luar Negeri Venezuela Jorge Arreaza menolak tenggat itu. ”Eropa memberi waktu delapan hari?” ujarnya di sidang Dewan Keamanan PBB.
”Di mana kalian bisa seperti itu ketika kalian mempunyai kekuasaan untuk menetapkan tenggat atau ultimatum kepada rakyat yang berdaulat. Ini seperti anak kecil,” lanjutnya.
Krisis politik dan ekonomi di Venezuela saat ini sudah melibatkan negara-negara luar. Negara UE mengancam akan menyatakan dukungan kepada pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai pemimpin sementara.
Adapun Rusia dan China mendukung kepemimpinan Presiden Maduro. Dubes Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menuduh Pemerintah AS berupaya merancang kudeta.
Nebenzia menyatakan, Venezuela tidak mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Justru kubu oposisi, lanjutnya, melakukan ”konfrontasi maksimum”, antara lain dengan menciptakan pemerintah paralel yang dipimpin Guaido.
Nebenzia mendesak Menlu AS Mike Pompeo lewat pertanyaan, ”Apakah AS akan menggunakan kekuatan militernya di Venezuela?” Terkait pertanyaan ini, Pompeo mengatakan kepada wartawan, ”Saya tidak ingin berspekulasi atau melakukan hipotesis apa yang akan dilakukan AS.”
Di bawah kepemimpinan Maduro, Venezuela menghadapi krisis yang semakin tidak menentu. Angka inflasi tahun ini mencapai 10 juta persen.
Maduro, yang berkuasa sejak 2013, pada pemilu Mei tahun lalu kembali menang setelah kubu oposisi memboikot pemilu. Saat pelantikan 10 Januari lalu, ribuan orang turun ke jalan-jalan di Caracas, meminta Maduro untuk turun.
Tokoh oposisi yang juga Ketua Majelis Nasional, Juan Guaido, kemudian menyatakan dirinya sebagai penjabat presiden di wilayah yang belum dipetakan. Hal ini memungkinkan terjadinya pemerintahan paralel yang diakui luar negeri, tetapi tanpa bisa mengawasi fungsi-fungsi negara.
Membelot
Militer Venezuela sejauh ini mendukung Maduro. Namun, di tengah situasi tegang, Kolonel Jose Luis Silva, atase militer di Washington, Sabtu, menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintahan Presiden Maduro. Dia meminta kolega-koleganya di militer mengikuti langkahnya.
Sementara Guaido kini mendapat tekanan untuk mengakui pertemuannya dengan orang kedua di pemerintahan, Diosdado Cabello, setelah muncul video yang memperlihatkan pertemuan tersebut. Sebelumnya, Guaido menyatakan menolak datang dalam perundingan dari pemerintah dengan alasan hal itu merupakan ”dialog palsu”.
Setelah sidang di Dewan Keamanan PBB berakhir, Guaido menulis surat kepada Sekjen PBB Antonio Guterres, meminta badan dunia itu memberikan bantuan kepada rakyat yang kelaparan dan kekurangan obat-obatan.
Komisi Tinggi Hak Asasi PBB mengungkapkan, 26 orang tewas dan lebih dari 350 orang ditahan dalam serangkaian aksi protes yang terjadi sepekan terakhir. (AFP/AP/REUTERS/RET)